Dalam Penegakan Keadilan
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata
kuliah Akhlak Profesi Hukum
Pengampu: Bapak
Muhammad Muslimin, S.H. M.H.
Disusun Oleh:
Ali
Mahmudi
NIM:
09340023
Prodi/Jurusan: Ilmu Hukum
Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
2012
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam
percakapan sehari-hari, perkataan profesi diartikan sebagai pekerjaan (tetap)
untuk memperoleh nafkah (Belanda; baan; Inggeris: job atau occupation), yang
legal maupun yang tidak. Jadi, profesi diartikan sebagai setiap kegiatan tetap
tertentu untuk memperoleh nafkah yang dilaksanakan secara berkeahlian yang
berkaitan dengan cara berkarya dan hasil karya yang bermutu tinggi dengan
menerima bayaran yang tinggi.
Keahlian
tersebut diperoleh melalui proses pengalaman, belajar pada lembaga pendidikan
(tinggi) tertentu, latihan secara intensif, atau kombinasi dari semuanya itu.
Dalam kaitan pengertian ini, sering dibedakan pengertian profesional dan
profesionalisme sebagai lawan dari amatir dan amatirisme, misalnya dalam dunia
olahraga, yang sering juga dikaitkan pada pengertian pekerjaan tetap sebagai
lawan dari pekerjaan sambilan.
Pengemban
profesi adalah orang yang memiliki keahlian yang berkeilmuan dalam bidang
tertentu. Karena itu, ia secara mandiri mampu memenuhi kebutuhan warga
masyarakat yang memerlukan pelayanan dalam bidang yang memerlukan keahlian
berkeilmuan itu. Pengemban profesi yang bersangkutan sendiri yang memutuskan
tentang apa yang harus dilakukannya dalam melaksanakan tindakan pengembanan
profesionalnya.
Ia secara
pribadi bertanggung jawab atas mutu pelayanan jasa yang dijalankannya. Karena
itu, hakikat hubungan antara pengemban profesi dan pasien atau kliennya adalah
hubungan personal, yakni hubungan antar subyek pendukung nilai.
Hubungan personal yang demikian itu tadi adalah hubungan horisontal antara dua pihak yang secara formal yuridis kedudukannya sama.
Hubungan personal yang demikian itu tadi adalah hubungan horisontal antara dua pihak yang secara formal yuridis kedudukannya sama.
Walaupun
demikian, sesungguhnya dalam substansi hubungan antara pengemban profesi dan
klien itu secara sosio-psikologis terdapat ketidakseimbangan. Dalam pengembanan
profesinya, seorang pengemban profesi memiliki dan menjalankan otoritas
profesional terhadap kliennya, yakni otoritas yang bertumpu pada kompetensi
teknikalnya yang superior.
Klien tidak
memiliki kompetensi teknikal atau tidak dalam posisi untuk dapat menilai secara
obyektif pelaksanaan kompetensi teknikal pengemban profesi yang diminta
pelayanan profesionalnya. Karena itu, jika klien mendatangi atau menghubungi
pengemban profesi untuk meminta pelayanan atau jasa profesionalnya, maka pada
dasarnya klien tersebut tidak mempunyai pilihan lain kecuali memberikan
pelayanan profesionalnya secara bermutu dan bermartabat.
Ini berarti
bahwa klien yang meminta jasa pelayanan profesional, mendatangi pengemban
profesi yang bersangkutan dengan kepercayaan penuh bahwa pengemban profesi itu
tidak akan menyalahgunakan situasinya, bahwa pengemban profesi itu secara
bermartabat akan mengerahkan pengetahuan dan keahlian berkeilmuannya dalam
menjalankan pelayanan jasa profesionalnya.
Karena
merupakan suatu fungsi kemasyarakatan yang langsung berkaitan dengan nilai
dasar yang menentukan derajat perwujudan martabat manusia, maka sesungguhnya
pengembanan profesi atau pelayanan profesional itu memerlukan pengawasan
masyarakat. Tetapi pada umumnya, yang bukan pengemban profesi yang
bersangkutan, tidak memiliki kompetensi teknikal untuk dapat menilai dan
melakukan pengawasan yang efektif terhadap pengembanan profesi.
Termasuk
birokrasi pemerintahan sulit melaksanakan pengawasan dan pengendalian
kemasyarakatan (kontrol sosial) terhadap pelayanan profesional secara efektif.
Daya jangkau kontrol sosial birokrasi pemerintahan dengan berdasarkan kaidah
hukum sangat terbatas, baik karena sifat personal pada hubungan antara
pengemban profesi dan klien maupun karena pengemban profesi memiliki kekuasaan
dan menjalankan kewibawaan tertentu terhadap kliennya.
B. Rumusan Masalah
Sebelum penulis memaparkan lebih lanjut terkait etika profesi, terlebih
dahulu penulis akan memberikan rumusan masalah sebagai kerangka berfikir dalam
pembahasan makalah ini. Diantara rumusan masalah tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Apa pengertian akhlak, etika, dan profesi itu?
b. Bagaimana peran
pemerintah dalam merumuskan kode etik profesi?
c. Sejauh mana peran kode etik/akhlak
profesi di dalam memutuskan suatu keadilan?
PEMBAHASAN
Pengaruh
Akhlak Profesi Hukum dalam Penegakan Keadilan
A. Pengertian Akhlak/Etika
Profesi
Etika berasal
dari Bahasa Yunani “ethos” (watak atau kesusilaan). Didalam bahasa latin
terdapat kata mos-mores yang berarti “adat” kebiasaan. Ada yang mengartikan perkataan etika = ethos sebagai norma,
nilai, kaidah, atau ukuran tingkah laku. Istilah yang tepat adalah Moral,
yang mengajarkan tentang baik dan buruknya perbuatan dan kelakuan. Tapi
sebenarnya dalam pengertian sehari-hari berbeda, kalau Etika dipakai untuk
menguuji sistem-sistem nilai yang ada, sedangkan Moral dipakai untuk sesuatu
perbuatan yang dinilai.
Ada beberapa ilmuan ahli filsafat yang memasukkan Etika bagian dari salah
satu cabang filsafat. Yang merupakan filsafat moral atau pembenaran-pembenaran
filosofi sabagai satu falsafah. Dan moralitas merupakan salah satu instumen
kelompok masyarakat apabila menghendaki adanya penuntun tindakan tingkah laku
untuk disebut bermoral. ( ”Ethics”, William Frankena ).
Maka Moralitas disatu pihak akan serupa dengan hukum dan dilain pihak
etika, tapi berlainan dengan konvensi atau etiket. Moralitas
lebih mementingkan tentang ”Kebenaran” dan ”Keharusan”, dan bukan merupakan
hukum, karena tidak dan tidak dapat diubah melalui tindakan legislatif, eksekutif, dan
yudikatif. Sanksi yang dikenakan
moralitas juga hanya bersifat internal, seperti rasa bersalah, sentimen, atau
rasa malu. Diluar itu norma mengacu kepada pengaturan sendiri beserta sanksi,
baik itu yang lahir dari dorongan bathin, susila, ataupun paksaan fisik.
Sehingga Etika dimasukkan kedalam filsafat tentang Nilai-nilai Kesusilaan.
Salomon menggariskan perbedaan
antara Etika, Moral, dan Moralitas. Etika merupakan bagian dari salah satu
cabang filsafat, sebagaimana yang diungkapkan William Frankena, dan
nilai-nilai hidup dan hukum-hukum yang mengatur tingkah laku manusia. Sedang
Moral menaruh penekanan terhadap karakter dan sifat-sifat invidu yang khusus,
diluar ketaatan terhadap peraturan. Sedangkan Moralitas terfokus kepada
hukum-hukum dan prinsif-prinsif yang abstrak dan bebas.
Sesuai dengan hal-hal tersebut diatas, maka pengaertian etika menurut
filsafat dapat dirumuskan sebagai berikut:
Etika ialah Disiplin ilmu yang mempelajari tentang nilai-nilai yang dianut
oleh manusia beserta pembenarannya yang diaplikasikan dalam tindakan tingkah
laku yang bermoral.
Ada orang yang berpendapat bahwa etika sama dengan akhlak. Persamaan itu
memang ada, karena keduanya membahas masalah baik buruknya tingkah laku
manusia. Tujuan etika dalam pandangan filsafat ialah mendapatkan ide yang sama
bagi seluruh manusia di tiap waktu dan tempat tentang ukuran tingkah laku yang
baik dam buruk sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran manusia. Akan
tetapi dalam usaha mencapai tujuan itu, etika mengalami kesulitan, karena
pandangan masing-masing golongan di dunia ini tentang baik dan buruk mempunyai
ukuran (kriteria) dalam konsepsi yang berlainan.
Profesi adalah : suatu jenis pekerjaan, yang karena sifatnya menuntut
pengetahuan yang tinggi, khusus dan latihan-latihan istimewa.
Yang termasuk dalam pengertian profesi, misalnya: pekerjaan Dokter, Ahli
Hukum, Akuntan, Guru, Arsitek dan yang lainnya. Pekerjaan itu diartikan sebagai
”jabatan”, baik dalam dunia kerja atau dalam suatu kegiatan. Istilah jabatan
adalah suatu kegiatan yang mendukung seseorang untuk memperoleh sebutan ”legaal”
dalam lingkungannya, dan lebih spisifiknya istilah itu menjadi istilah ”Kepala” ketika seseorang seseorang
diangkat untuk menduduki jabatan itu. Karena suatu profesi lebih menuntut suatu
standar kemampuan tehnik bekerja dalam disiplin ilmu pengetahuan yang spesifik
dan tinggi.
Dari batasan diatas tersebut dapat diketahui bahwa untuk dapat menentukan
apakah suatu lapangan kerja dapat dikategorokan sebagai profesi, diperlukan:
1.
pengetahuan
2. penerapan keahlian (Commpetement of
Application)
3.
Tanggup jawab
sosial (social responsibility)
4.
Self Control
5.
pengakuan oleh
masyarakat (Sosial sanction).
Menurut Brandeis
yang dikutip oleh A. Patteren Jr., untuk dapat disebut sebagai profesi
maka pekerjaanitu sendiri harus mencerminkan adnya dukungan yang berupa:
1.
Ciri-ciri
pengetahuan (intelectual character)
2.
Diabadikan
untuk kepentingan orang lain.
3.
Keberhasilan
tersebut bukan didasarkan pada keuntungan financial
4.
Didukaung oleh
adanya organisasi profesi, dan organisasi profesi tersebut antara lain
menentukan berbagai ketentuan yang merupakan kode etik, serta pula bertanggung
jawab dalam memajukan dan penyebaran profesi yang bersngkutan
5.
Ditentukan
adnya standar kwalifikasi profesi.
Dari uraian tersebut diatas dapatlah ditentukan pembatasan kriteria apa
yang disebut profesi, antara lain :
1. Pengetahuan
2. keahlian/kemahiran
3. Mengabdi kepada
kepentingan orang banyak
4. Tidak mengutamakan
keuntungan finansial
5. Adanya organisasi atau
assosiasi profesi
6. Pengakuan masyarakat
7. Kode Etik.
Wahyu sumidjo, menyatakan bahwa profesi itu merupakan struktur pengertian
yang didalmnya mencakup antara lain butiran-butiran diatas. Kekhususan
yang dimaksud, pada hakekatnya berupa kriteria yang disyaratkan oleh setiap
jenis tugas yang dapat disebut profesi yaitu bukan sekedar kepandaian atau
keterampilan dalam menggunakan alat-alat dan memanfaaatkan bahan-bahan,
melainkan adanya dukungan secara terpadu.
Kalau kata profesi disatukan dengan kata etika, yang berarti ”Etika
Profesi”.maka Etika Profesi mengandung pengertian suatu etika yang berlaku
dalam lingkungan profesi tertentu. Dan pada umumnya setiap profesi tersebut
sudah terikat oleh suatu Kode Etik Profesi itu. Sebaliknya Etika Jabatan
mengandung arti etika yang berlaku dalam lingkungan ”pegawai” yang
memiliki jabatan tersebut.
Etika profesi hukum erat hubungannya dengan tugas profesi hukum. Nilai
suatu etika profesi tidak sama dengan nilai etika yang berlaku umum, namun
kedua etika itu mempunyai kesamaan pada kesadaran moral yang menjadi landasan
setiap perbuatan manusia yang bermoral.
Moralitas adalah kualitas perbuatan manusia untuk berprilaku yang dapat
membedakan prilaku yang benar atau salah, baik atau buruk, dan perbuatan yang
demikian itu dikehendaki atau tidak dikehendaki serta perbuatan itu sesuai atau
tidak dengan suara hati nuraninya.
Perangkat etika adalah study nilai-nilai manusiawi yang didasarkan atas
kodrat manusia dan memanifestasikannya dalam kehendak dan prilaku manusia.
Artinya etika menjadi perangsang timbulnya kesadaran moral antara pembenaran
dan ketidak benaran.
Hubungan antara etika dan profesi adalah setiap orang harus memperhatikan
etika umum dan oleh karena kelompok orang profesi harus menyandang etika khusus
dari profesi yang bersangkutan.
Seorang profesi atau sekelompok profesi hukum yang harus bekerja secara
profesional tetapi dinodai oleh prilaku tidak memperdulikan tujuan moralitas
berarti bekerja tidak professional dan profesi hukum tersebut tidak bermoral.
Suatu profesi adalah suatu kelompok terbatas dari orang atau beberapa orang
yang mempunyai keahlian khusus yang diperoleh dari pendidikan tinggi atau
pengalaman khusus berderajat tinggi dan dengan keahlian itu mereka dapat
berfungsi dalam masyarakat untuk berperilaku memberikan pelayanan kepada
masyarakat yang lebih baik dibandingkan dengan warga masyarakat lain pada
umumnya.
Seorang profesi hukum dan bekerja secara professional harus tertarik
pada pengembangan sumber daya manusia dan kesejahteraan manusia serta penuh
kerelaan menerima kewajiban atas dasar norma moral, oleh karenya profesi hukum
yang professional itu pasti akan lebih mengutamakan prilaku yang baik untuk
pelayanan hukum terhadap sesamanya.
Norma etika yang berlaku bagi profesi hukum diwujudkan dalam kode etik
profesi hukum akan memberikan arahan/pedoman bagi profesi hukum untuk
menjalankan suatu pekerjaan secara professioanal dan sekaligus menjamin mutu
moralitas profesi dimata masyarakat.
Satu sikap kode etik profesi dapat merubah dan diubah sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan iptek. Namun perubahan dapat dicegah untuk
kemungkinan timbulnya penyalahgunaan yang meresahkan masyarakat dan mengacaukan
kehidupan profesi itu sendiri.
Etika profesi membawa tanggung jawab profesi hukum yang mengandung suatu sifat kode etik profesi.
Dua tuntunan kode etik profesi:
1. Keharusan untuk menjalankan profesinya secara
bertanggung jawab.
2. Keharusan untuk tidak
melanggar hak-hak orang lain.
Tiga keperluan rumusan tertulis Kode Etik Profesi untuk di sosisalisasikan
dengan alasan:
1. Kode Etik sebagai sarana kontrol
sosial
2. Kode Etik daaapat
mencegah pengawasan atau campur tangan tanpa perlu dilakukan oleh pihak luar
bukan kalangan profesi.
3. Kode Etik perlu untuk mengembangkan
petunjuk baku dari kehendak yang lebih tinggi berdasarkan moral.
Empat Karakter Kode Etik yang meliputi:
1. Merupakan produk etika
terapan yang dihasilkan bedasarkan penerapan pilihan konsep-konsep pemikiran
etis atas suatu profesi tertentu.
2. Merupakan hasil self-regulation
dari profesi itu sendiri yang mewujudkan nilai-nilai moral yang dianggap hakiki
dan pada prinsipnya tidak pernah dipaksakan dari luar.
3. Oleh karena dijiwai
nilai-nilai dan cita yang hidup dalam kalangan profesi itu sendiri maka tidak
akan efektif apabila keberadaannya ditentukan dari pemerintahan atau intansi
atasan.
4. Bertujuan untuk mencegah
terjadinya perilaku yang tidak elit sehingga ada kewajiban lapor tenteng
terjadinya pelanggaran.
Enam tahapan Operasionalisasi Kode Etik bagi profesi diperuntukkan:
1. Kode Etik Profesi
dimaksudkan untuk melindungi anggota organisasi dalam menghadapi persaingan
pekerjaaaaan profesi yang tidak jujur dan mengembangkan tugas profesi yang
sesuai dengan kepentingan masyarakat.
2. Kode Etik dimaksudkan
untuk menjalin hubungan baik para anggota profesi satu sama lainnya dan menjaga
nama baik profesi.
3. Kode Etik mencerminkan
adanya hubungan tugas profesi dalam pelayanan masyarakat dan kesejahteraan
sosial.
4. Kode Etik dipergunakan
untuk meraaangsang pengembangan profesi sehingga para anggota profesi
diharuskan memiliki kualifikasi pendidikan tingi yang memadai
5. Kode Etik pada dasarnya
untuk mengurangi kesalah pahaman dn konflik baik dari antar anggota maupun
dengan masyarakat umum.
6. Kode Etik dimaksudkan
untuk membentuk ikatan yng kuat bagi sesama anggota dan melindungi profesi
terhadap keberlakuan norma hukum yang bersifat imperatif tanpa perlu sebelim
disesuaikan dengan saluran norma moral profesi yang berlaku.
Keberadaan Kode Etik Profesi (Hukum) harus diperhatikan dua masalah dasar
yang melekat yaitu:
1. Bagimana membuat Kode
Etik cukup jelas rumusannya dan tidak mudah ketinggalan dari kemajuan zaman.
2. Adanya perangkat institusional
ynag handaldan upaya pengembangan sarana-sarana yang efektif untk menjadi
kekuatan memaksa berlakunya kode etik agar ditaati anggota profesi.
Mengantisipasi dua masalah dasar yang melekat pada Kode Etik itu dapat
terhindar dari pencampuradukan antara norma etik/moral yang berbeda dengan
norma hukum. Intervensi peraturan hukum yang tidak proporsional dapat
mengganggu tugas spesialis dari profesi (hukum) di dalam lingkungan masyarakat.
Pelayanan hukum harus dilakukan secara profesional oleh para profesi hukum
yang berkewajiban untuk mempertanggung jawabkan sesuai dengan etika profesi
sebelum mempertanggung jawabkan dari norma-norma lainnya.
Jika kewajiban dan tanggung jawab profesi hukum dihubungkan dengan
pemilikan kualifikasi pendidikan tinggi yang terus berkembang meningkatkan
keilmuan dan keprofesionalan yang mandiri untuk kepentingan kesejahteraan
manusia, agar masyarakat memperoleh jaminan pelayanan hukum yang sesuai dengan
perkembangan ilmu dan perkembangan etika mengikuti dinamika perubahan zaman
baik dalam sekala nasional maupun internasional.
Menurut UU no.
8 (pokok-pokok kepegawaian) kode etik profesi adalah pedoman sikap, tingkah
laku dan perbuatan dalam melaksanakan tugas dan dalam kehidupan sehari-hari.
Kode etik profesi sebetulnya tidak merupakan hal yang baru. Sudah lama
diusahakan untuk mengatur tingkah laku moral suatu kelompok khusus dalam
masyarakat melalui ketentuan-ketentuan tertulis yang diharapkan akan dipegang
teguh oleh seluruh kelompok itu. Salah satu contoh tertua adalah ; sumpah
hipokrates, yang dipandang sebagai kode etik pertama untuk profesi dokter.
Hipokrates
adalah doktren Yunani kuno yang digelari: Bapak Ilmu Kedokteran. Beliau
hidup dalam abad ke-5 SM. Menurut ahli-ahli sejarah belum tentu sumpah ini
merupakan buah pena Hipokrates sendiri, tetapi setidaknya berasal dari kalangan
murid-muridnya dan meneruskan semangat profesional yang diwariskan oleh dokter
Yunani ini.
Walaupun
mempunyai riwayat eksistensi yang sudah-sudah panjang, namun belum pernah dalam
sejarah kode etik menjadi fenomena yang begitu banyak dipraktekkan dan tersebar
begitu luas seperti sekarang ini. Jika sungguh benar zaman kita di warnai
suasana etis yang khusus, salah satu buktinya adalah peranan dan dampak
kode-kode etik ini.
Profesi
adalah suatu moral community (masyarakat moral) yang memiliki cita-cita
dan nilai-nilai bersama. Kode etik profesi dapat menjadi penyeimbang segi-segi
negative dari suatu profesi, sehingga kode etik ibarat kompas yang menunjukkan
arah moral bagi suatu profesi dan sekaligus juga menjamin mutu moral profesi
itu dimata masyarakat.