Minggu, 20 November 2011

Pemimpin Mabrur, Rakyat Makmur

Pemimpin Mabrur, Rakyat Makmur
Oleh: Ali Mahmudi CH *)

Di penghujung bulan Dzulqo’dah ini, kita akan memasuki bulan Dzilhijjah. Bulan ini sering kita sebut dengan bulan haji. Saat-saat itulah kewajiban seorang muslim untuk menunaikan ibadah haji bagi yang mampu. Tak ada harapan lain dalam diri calon haji-hajah selain menggapai ridho Allah dan berimplikasi pada haji yang mabrur. Haji yang mabrur ini menjadi dambaan bagi setiap insan yang ingin menunaikan ibadah haji. Karena, tak ada balasan bagi haji yang mabrur, kecuali surga atas ridho Allah Swt.
Moment-moment seperti itu tak hanya terbatas pada tataran menunaikan ibadah haji semata. Namun, implikasi haji yang mabrur dapat menumbuhkan pribadi yang luhur. Inilah yang kemudian dijadikan patokan standar bahwa ibadah haji seseorang itu mabrur atau tidak. Haji yang mabrur dapat tercermin dari kepribadian seseorang ketika kembali ketanah air. Seseorang dengan nilai predikat kebaikan semakin bertambah, maka sudah dapat dipastikan kalau hajinya diterima dan diridhoi oleh Allah. Sehingga Allah senantiasa mencurahkan hidayah, taufiq, serta inayahnya kepada hambanya yang sholeh.
Orang yang sudah melaksanakan ibadah haji, idealnya memiliki kesalehan individual-ritual dan sosial yang tinggi. Sebagai hasil tempaan selama mereka berada di Tanah Suci. Karakteristik haji mabrur lebih rinci dikemukakan Rasulullah SAW, ”Tidak akan berhasil bagi orang yang melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci sekiranya tidak membawa tiga hal: sikap wara’ yang membendung dirinya melakukan yang diharamkan, sikap sabar yang dapat meredam amarah, dan bergaul baik dengan sesama manusia”.
Maka jelas, ibadah haji memiliki implikasi individual dan sosial. Jika implikasi ini tidak dimiliki jamaah haji, maka bisa jadi sabda Rasulullah tadi berlaku pada mereka. Implikasi itu adalah individu yang kian wara’ dan sabar serta bergaul baik dengan sesama. Wajar, jika haji mabrur menjadi satu amal utama dalam Islam selain iman dan jihad, dan hanya surga yang pantas diberikan sebagai imbalan haji mabrur.
Dalam pandangan Ali Syari’ati (1980), pakaian ihram melambangkan pelepasan semua sifat buruk dalam diri, yakni sifat serigala (kekejaman dan penindasan), tikus (kelicikan), anjing (tipu daya), dan kambing (penghambaan kepada selain Allah). Ali menambahkan, agar manusia yang menunaikan ibadah haji itu melepas segala bentuk yang menghalangi manusia untuk menjadi manusia seutuhnya. Dengan demikian, haji mabrur bisa membuat pelakunya menghilangkan semua sifat buruk tersebut dalam dirinya.
Sejatinya, makna substantif ibadah haji itu tidak terletak pada huruf “H” atau “Hj” di depan nama seseorang. Tetapi lebih pada aktualisasi nilai-nilai simbolik ibadah haji, berupa kesalehan individu dan sosial dalam kehidupan sehari-hari. Kemabruran haji tercermin pada kemampuan meningkatkan kualitas amal saleh, seperti kedermawanan, kerendahan hati, keadilan, dan sifat-sifat kemanusiaannya setelah kembali dari Makkah al-Mukarramah.
Agama Islam memandang penting terhadap sebuah kepemimpinan (ro`iyyah). Karena pada hakikatnya kita semua adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan itu. Ada beberapa kriteria Pemimpin yang disyaratkan dalam pandangan agama: Pertama, Amanah (terpercaya). Seoarang pemimpin harus mendapat kepercayaan masyarakat, karena sebuah masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera akan terbentuk manakala pemimpinnya mendapat kepercayaan (legitimasi) dari masyarakat.
Kedua, Fathonah (cerdas). Persyaratan menjadi pemimpin ideal, yakni memiliki kemampuan intelegen (IQ) yang standar, sehingga mampu menganalisa dan mengatasi masalah di wilayahnya. Ketiga, Tabligh (komunikatif). Pemimpin harus mampu berkomunikasi dengan masyarakat dan pimpinan yang ada di atasnya, sehingga akses informasi bisa diterima oleh semua masyarakat. Keempat, Shidiq (jujur). Kejujuran seorang pemimpin merupakan bagian dari kesuksesan dalam kepemimpinannya. Karena dengan kejujuran ini akan menghindarkan pemimpin yang korup. Dengan kejujuran ini akan menjadikan kepemimpinan yang transparan. Sehingga, tidak ada lagi kacurigaan publik terhadap kepemimpinan penguasa.
Pemimpin Ideal adalah Pemimpin yang dapat berkomunikasi secara efektif dalam situasi apapun dan bijaksana. Pemimpin yang dapat berkomunikasi secara efektif adalah: Pertama, Memberikan informasi yang update kepada seluruh bawahan dan koleganya secara terus-menerus, fakta yang terjadi di lapangan. Kedua, Secara proaktif meminta umpan balik dari bawahan. Ketiga, Memastikan adanya tindak lanjut atas masalah yang terjadi dalam suatu organisasi. Keempat, Selalu mengupdate informasi yang dimiliki berdasarkan fakta yang terjadi dilapangan.
Selain pemimpin yang mampu komunikatif, untuk menjadi pemimpin ideal harus bijaksana. Artinya, bijak dalam mengambil keputusan dan menempatkan sesuatu pada tempatnya dan sesuai porsi. Gambaran sikap pemimpin yang bijak, yakni sebagai berikut: Pertama, Memiliki rasa percaya diri dan dapat mengatakan bisa pada diri sendiri untuk dapat menyelesaikan suatu masalah. Kedua, Sensitif terhadap perasaan/emosi pihak lain/anak buah.
Ketiga, Dapat menyelesaikan masalah dengan cepat yang menjadi tanggungjawabnya dan terbiasa mendisiplinkan diri untuk mencari solusi setiap masalah dan bersikap action oriented. Keempat, Berpikir kedepan dan selalu berpikir contigency plan yaitu selalu mengembangan pikiran dalam beberapa skenario untuk mengantisipasi kondisi yang akan terjadi, disini anda akan lebih terlihat powerful. Kelima, Pikirkan selalu kenyamanan anggota organisasi dalam bekerja.
Selain hal yang harus dimiliki, pemimpin ideal juga harus menjauhi hal-hal buruk yang akan memperpuruk citra pemimpin dimata rakyat. Untuk itu, guna mencapai pemimpin yang ideal tidak disarankan menutup-nutupi permasalahan, berbohong atau mengatakan sesuatu yang sifatnya misleading. Walau sebagai pemimpin, harus menyimpan hal-hal yang bersifat cinfidential, namun hal-hal yang sifatnya terkaitn dengan keamanan, kesejahteraan harus disampaikan secara terbuka. Selain itu juga tidak diperkenankan menjanjikan sesuatu yang belum ada kejelasannya untuk direalisasikan. Apalagi sampai berbuat menyalahkan pihak lain atau mencari kambing hitam atas terjadinya masalah.

*Penulis: Pengamat Pada Pusat Study Syariah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Selasa, 01 November 2011

Amoi Singkawang, Novel Soal Perempuan Tionghoa

JAKARTA, KOMPAS.com - Amoi Singkawang, novel karya Mya Ye ini diterbitkan Penerbit Buku Kompas (PBK). Mya Ye lahir di Sukabumi, 1 Juni 1979 adalah dokter gigi lulusan Universitas Moestopo (Beragama) Fakultas Kedokteran Gigi (1997-2005), yang mengambil S-2 The London School of PR Jurusan Mass Communication, lulus tahun 2009.

Selain nove l Amoi Singkawang , Mye Ye sudah menulis beberapa novel lainnya, yaitu Luv Me, Princess; Cinta, Aku Harus Bagaimana?; Topeng (cerita bersambung); Jerawat? Gue Banget; Love on The Blue Sky, Pemburu Cinta.

Inilah sinopsis novel Amoi Singkawang yang sudah beredar di toko buku Gramedia.

Lahir dalam keluarga Cina modern, Shintia Arwida, seorang penulis muda, merasa sangat buta dengan ketidaktahuannya tentang sejarah dan asal-usul budaya nenek-moyangnya. Ia mengalami krisis identitas berat dan ingin pergi meninggalkan tanah kelahirannya. Namun sebelum itu, ia ditantang ayahnya untuk menggali sendiri akar budaya keturunannya.

Perjalanan membawa Shintia ke Singkawang. Kota seribu Kuil yang mayoritas penduduknya adalah etnis Cina. Di sana ia berkenalan dengan amoi-amoi yang sebutannya terkenal sampai ke luar Singkawang.

Melalui teman-teman barunya ini ia belajar banyak tentang kehidupan. Tentang ketaatan pada adat dan tradisi kuno dan rasa bakti terhadap orangtua dan keluarga, termasuk menikah dengan orang luar negeri, seperti Taiwan.

Batin Shintia memprotes ketidakadilan yang diterima oleh anak-anak perempuan dalam keluarga tradisional Cina. Dari kelahiran yang tak pernah diharapkan, suara yang tak pernah masuk hitungan, sampai menjadi sapi perah untuk mengubah kemiskinan.

Kemiskinan. Itulah yang menjadi awan kelabu amoi-amoi itu. Satu kata itu bisa menjungkir-balikkan kehidupan mereka. Tidak ada dana untuk pendidikan ditambah jejalan nasehat usang yang melarang anak perempuan bersekolah dan menjadi pintar mendukung pola pikir mereka yang pendek dan tidak bisa diandalkan. Yang ada dalam pikiran mereka hanya uang. Tak heran jika akhirnya mereka menuruti desakan orangtua untuk menikahi pria-pria asing yang mampu memberi mahar dalam jumlah tinggi.

Ironisnya, orangtua mereka pun seperti tak peduli bagaimana nasib anak perempuan mereka kelak ditangan suami yang tak pernah dikenal baik sebelumnya. Cinta hampir tak ada dalam kamus hidup mereka.

Tak hanya satu-dua amoi yang merasa ketakutan memasuki gerbang baru kehidupan mereka. Tapi sekali lagi mereka tak berdaya. Memprotes sama dengan membangkang perintah orangtua. Durhaka. Dan para amoi itu menunjukkan kualitasnya sebagai anak manusia. Menjadi tulang punggung keluarga. Meskipun seringkali pengorbanan mereka seolah tidak berharga.

Namun amoi-amoi yang tak berpendidikan tinggi ini justru menjadi guru kehidupan bagi Shintia. Pelajaran yang didapatnya dari mereka, baginya, jauh lebih berarti dari yang pernah diterimanya di bangku sekolah. Yang paling tinggi sekalipun. Bahwa mimpi tak selalu sejalan dengan kenyataan.

MUI Keluarkan "Taushiyah" Jelang Idul Adha

JAKARTA, (PRLM).- Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan "taushiyah" dan bimbingan keagamaan untuk masyarakat dalam rangka menyongsong Idul Adha 1432 H, pelaksanaan ibadah haji, dan ibadah kurban. Pemerintah sendiri telah menetapkan hari raya Idul Adha 10 Dzulhijjah 1432 H jatuh pada Minggu 6 November 2011.

Terkait dengan perayaan Idul Adha, Ketua MUI Umar Shihab meminta agar segenap umat Islam selain dalam menyambut syiar malam Idul Adha dengan mengumandangkan takbir, tahmid, dan tahlil dengan penuh kesemarakan, juga dapat senantiasa menjaga kekhidmatan, kekhusyukan, dan ketertiban.

“Bagi umat Islam yang hendak melaksanakan takbir keliling harap melakukan koordinasi dengaan aparat keamanan untuk terjaminnya ketertiban dan keamanan,” ujar Umar Shihab dalam keterangan pers, berlangsung di Gedung MUI, Jakarta, Selasa (1/11). Turut mendampingi, Ketua MUI lainnya Slamet Effendy Yusuf.

Sementara itu, terkait dengan ibadah kurban, diingatkan bahwa umat Islam yang melaksanakan ibadah kurban dapat mengindahkan standardisasi hewan yang disembelih. Hewan tidak cacat, bersih, dan jauh dari penyakit.

Dijelaskan Umar, sesuai dengan fatwa MUI No. 12/2009 tentang Standardisasi Penyembelihan Halal, dalam rangka menjamin keabsahan dan kemaslahatan ibadah kurban, hewan memenuhi syarat usia. Untuk kambing telah satu tahun, untuk sapi telah sampai dua tahun, dan untuk unta telah sampai lima tahun.

Umar menegaskan, hewan harus sehat. Untuk itu, kondisinya harus memenuhi standar kesehatan hewan yang ditetapkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan. Selain soal pemilihan hewan, juga memperhatikan tata cara penyembelihan dengan tetap mengacu pada standar/ketentuan yang berlaku.

Hal lainnya adalah memperhatikan kebersihan lingkungan, baik dalam proses pemeliharaan, penyembelihan, pengolahan, hingga pendistribusian. “Memperhatikan aspek kesehatan hewan. Untuk itu Kementan (Kementerian Pertanian) diminta menjamin kesehatan hewan,” katanya. (A-94/das)**

Kamis, 10 Maret 2011

Maulid dan Jihad Reformasi

Maulid dan Jihad Reformasi
Oleh: Ali Mahmudi Ch *)

Lantunan pujian shalawat mengalun merdu disetiap sudut-sudut perkampungan. Malam-malam Rabi’ul awal terlantun syair puji-pujian. Dunia bagaikan lautan shalawat bergelombang menggemuruh seluruh penjuru. Semarak shalawat menggema dimana-mana meramaikan persada. Rerumputan bergoyang-goyang diterpa angin shalawat atas Muhammad yang agung nan mulia. Seluruh makhluk dijagat raya menyaksikan ruh Muhammad diantara kerumunan orang-orang shaleh.
Inilah tradisi yang tiada henti. Turun-temurun dari masa ke masa selanjutnya. Mengintip sejarah, bahwa maulid pertama diperingati pada masa Sultan Salahuddin Yusuf al Ayyubi (1174-1193M). Ia berasal dari suku Kurdi dengan pusat kesultanannya berada di Qahirah, Mesir. Daerah kekuasaannya membentang dari Mesir sampai Suriah dan Semenanjung Arab. Pada masa itu, Islam sedang mengalami serangan bertubi-tubi dari bangsa Eropa. Perang ini kemudian dikenal dengan Perang Salib (The Crusade).
Tahun 1099, Eropa merebut Yerusalem. Kemudian mereka mengubah Masjid Al-Aqsha menjadi gereja. Saat itu umat sedang kritis semangat perjuangan dan persaudaraan. Sebab, secara politis mereka terbelah dalam banyak kerajaan dan kesultanan. Meski semestinya khalifah tetap dipegang oleh Bani Abbas di Bagdad. Berawal dari situasi inilah yang kemudian melahirkan jihad reformasi di tubuh Salahuddin al-Ayyubi.
Salahuddin al-Ayyubi berupaya mempertebal semangat kecintaan umat kepada Nabi Muhammad. Dia mengimbau bagi umat Islam di seluruh dunia agar memperingati hari lahir Nabi Muhammad. Ini bertujuan untuk meningkatkan semangat juang kaum reformis muslim. Peringatan maulid diperintahkan guna mengimbangi maraknya peringatan Natal umat Nasrani.
Awalnya, ide ini banyak ditentang oleh para ulama. Sebab, sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Tetapi disini Salahuddin menegaskan, bahwa perayaan maulid nabi merupakan kegiatan guna menyemarakkan syiar agama. Ini berarti bahwa maulid bukan merupakan perayaan bersifat ritual ibadah. Sehingga kegiatan ini tidak dapat dikategorikan sebagai bid’ah.
Salah satu kegiatan maulid nabi pertama kali, ialah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian baginya dengan bahasa seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang juara pertama diraih oleh Syaikh Ja’far Al-Barzanji. Karyanya sangat terkenal, yakni Kitab Barzanji. Al-Barzanji ini marak dibaca pada peringatan maulid nabi ataupun setiap malam jum’at. Tradisi ini dalam istilah Jawa dikenal dengan nama Berjanjenan.
Spirit Reformasi
Pasca runtuhnya Orde Baru, angin reformasi berhembus sangat kencang. Namun sayang, reformasi birokrasi tetap jalan ditempat. Dalam era reformasi ini, kondisi manajemen birokrasi semakin terpuruk. Ini ditandai dengan adanya penyerahan kewenangan manajemen kepegawaian kepada pembina kepegawaian daerah. Sementara pembina kepegawaian daerah merupakan orang-orang pejabat politik yang menghendaki dukungan politik.
Maka tak dapat dielakkan lagi kalau terjadi kultur mutasi dan promosi jabatan secara missal. Uniknya, bahkan hampir menjurus pada bagian daerah otonom. Baik di tingkat pemerintah daerah, provinsi, hingga kabupaten. Mutasi jabatan birokrasi dilakukan oleh pejabat politik yang hendak mengatur birokrasi. Ini bertujuan untuk memuluskan langkah guna mencapai jabatan kedua atau klien penggantinya.
Pada masa Orba, penentuan karier pejabat birokrasi diatur secara kelembagaan dari pusat. Faktanya, sebagai penganut party state bureaucratic, penentuan jabatan birokrasi masih harus di bawah organisasi partai. Disinilah birokrasi menjadi unsur penting dalam organisasi partai. Organisasi partai bisa mengalihfungsikan birokrasi menjadi ajang promosi partai dan jabatan. Sebab, pejabat birokrasi dikuasai oleh partai politik tertentu.
Untuk itu, kita perlu mendongakkan kepala untuk melihat sejarah. Disinilah pentingnya peringatan maulid bagi pemerintahan birokrasi. Spirit reformasi telah tumbuh di jantung peradaban maulid Nabi. Seperti telah digagas Shalahuddin al-Ayyubi, bahwa maulid dimaksudkan untuk menggugah semangat jihad reformasi pada saat itu. Meskipun maulid terkesan kultur keagamaan, namun ruhnya jauh memiliki makna yang luas.
Maka, sudah saatnya Indonesia mereformasi birokrasi secara total. Artinya, reformasi birokrasi tidak hanya dalam ranah parsial per departemen atau unit kerja saja. Namun harus direformasi secara total. Berdasarkan hasil survei dari The Political and Economics Risk Consultancy (PERC), 9 April 2009, bahwa Indonesia merupakan Negara dengan pelayanan publik terburuk setelah india. Selain menyandang prestasi itu, Indonesia juga mendapat skor predikat Negara terkorup se-Asia.
Secara umum, demokrasi yang diraih rakyat Indonesia pascareformasi memang sedikit menggembirakan. Ini terbukti dengan adanya kebebasan berpendapat, kebebasan pers, serta berbagai upaya transparansi tata kelola pemerintahan. Kondisi ini akan semakin baik apabila ditunjang dengan reformasi birokrasi. Tentunya upaya ini harus dilaksanakan secara professional dan proporsional.
Penyimpangan-penyimpangan yang kerap dilakukan oleh pejabat birokrasi kemungkinan bisa diminimalisir dengan adanya pembatasan dan kriteria rekrutmen yang jelas. Sekaligus disertai dengan menempatkan birokrasi dalam jabatan karier pemerintahan. Dengan ini diharapkan pejabat eksekutif maupun legislatif jauh dari jangkauan kinerja birokrasi. Maka, pejabat birokrasi tidak akan merasa tertekan bila berhadapan dengan pemimpinnya yang berasal dari jalur politik.
Sebab, selain terprioritaskan pada aspek profesionalitas, juga terdapat Undang-undang yang melindungi pejabat birokrasi dalam menjalankan kariernya. Akhir-akhir ini, pengawasan terhadap manajemen birokrasi semakin kabur. Untuk itu, dalam rangka mengikis budaya paternalistik, harus segera mungkin memprioritaskan profesionalisme dengan pendekatan meritokrasi birokrasi.
Pendekatan ini dalam rangka memaksimalkan fungsi dasar lembaga birokrasi. Profesionalisme dan meryt system tidak akan tercapai apabila semangat netralitas birokrasi tidak segera ditekankan dalam peraturan perundang-undangan. Sebab, tanpa netralitas birokrasi terhadap politik, maka akan sulit mencapai profesionalitas birokrasi sesuai tujuan bangsa yang demokratis.

*Penulis: Peneliti pada Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta (LKKY).

Sabtu, 05 Maret 2011

Menyibak Keruntuhan Majapahit


* Judul : Genealogi Keruntuhan
Majapahit, Islamisasi,
Toleransi,
dan Pemertahanan
Agama Hindu di Bali.

* Penulis : Prof Dr Nengah Bawa
Atmadja, MA

* Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
* Edisi : I, 2010
* Tebal : xxxiii + 503 halaman
* ISBN : 978-602-8764-81-0
* Peresensi : Ali Mahmudi CH *)

KOMPAS.com — Majapahit merupakan salah satu kerajaan Hindu-Jawa terbesar di Indonesia. Kerajaan ini merupakan simbol puncak kemajuan peradaban Hindu-Jawa. Majapahit mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada. Pasca-tumbangnya Hayam Wuruk, Majapahit perlahan-lahan mengalami kemunduran yang berakhir sirna.

Setelah tumbangnya Majapahit, kemudian muncul gerakan serentak dakwah Islam di Jawa. Posisi kerajaan terbesar Hindu-Buddha kemudian digantikan oleh kerajaan Islam yang berpusat di Demak Bintara. Proses islamisasi di Jawa merupakan proses agung dalam rangka dakwah penyebaran agama Islam. Islamisasi berlangsung secara perlahan-lahan, tetapi penuh kepastian.

Kerajaan Demak Bintara merupakan kerajaan Islam terbesar setelah tumbangnya Majapahit. Kerajaan Majapahit merupakan penerus kerajaan Singasari. Dia tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh Islam. Gejala ini diperkuat dengan munculnya kota-kota pelabuhan di jalur pantura (pantai utara) Jawa yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Bahkan, sebelum itu banyak pedagang Islam dari Gujarat maupun Arab yang berada di dalam Kerajaan Majapahit.

Dakwah penyebaran Islam ini bukan hanya dari kalangan saudagar, melainkan juga dari adanya peran Wali Sanga (Wali Sembilan) yang berada di Tanah Jawa. Keberhasilan Wali Sanga dalam menyebarkan agama Islam tak lepas dari modal yang dimilikinya. Modal inilah yang tidak kebanyakan orang mampu memilikinya. Pada masa awal perkembangan Islam, para wali menjadikan masjid sebagai sentralnya. Di dalam masjid-lah segala aktivitas pengembangan komunitas Islam berlangsung.

Buku Genealogi Keruntuhan Majapahit, Islamisasi, Toleransi, dan Pemertahanan Agama Hindu di Bali karya Prof Dr Nengah Bawa Atmadja, MA, merupakan salah satu buku sejarah dengan banyak sudut pandang. Dalam menyampaikan gagasannya, penulis menggunakan data. Analisis yang dipaparkan dapat memberikan bayangan mengenai lintasan historis. Pemaparannya menyangkut data-data sejarah sejak zaman Majapahit hingga zaman Republik.

Hal yang menarik dari buku ini, yakni pemuatan telaah mengenai luasnya penggalian masalah sejarah dan modernisasi yang terkandung dalam konsep trisema. Hal tersebut yakni sejarah sudut pandang kejadian masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang mengenai jatuh-bangunnya kerajaan besar. Tentu ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Namun, hal itu berbeda ketika di tangan Atmadja. Dia berhasil menuliskannya dengan sedemikian apik.

Buku ini merupakan buah hasil dari pemikiran mengenai hakikat sebuah pergeseran dan kebertahanan sejarah peradaban. Ini menyangkut perjalanan sejarah bangsa Majapahit menjadi bangsa Indonesia yang multikultural. Pada zaman Majapahit banyak dijumpai pertapaan (mandala) yang terletak di dalam hutan. Ini berfungsi sebagai asrama tempat tinggal siswa yang berguru kepada orang suci yang memiliki pertapaan. Mandala ini kemudian berubah menjadi pesantren setelah Majapahit tumbang digantikan kerajaan Islam.

Pengalihan pertapaan menjadi pesantren menimbulkan implikasi. Di mata orang Hindu, pesantren bukan budaya asing. Hal tersebut telah mengakar dalam budaya Jawa. Mereka lebih mudah menerima pendidikan agama lewat pesantren. Sebab, secara kelembagaan, pesantren cenderung sama dengan lembaga pendidikan sebelumnya (mandala/pertapaan). Hanya saja mereka berbeda istilah dan bahan ajaran.

Kondisi ini mengakibatkan agama Islam secara bertahap meluaskan pengaruhnya ke daerah-daerah pedalaman. Bahkan, Islam telah menembus kawasan Istana Majapahit. Ini terbukti dengan adanya temuan batu nisan di kuburan-kuburan Jawa Timur, yakni Trowulan dan Troloyo, di dekat Istana Majapahit. Ini menunjukkan bahwa pada saat Majapahit berjaya, penduduknya sudah ada yang beragama Islam.

Ini berkaitan dengan kebijakan raja terhadap agama Islam. Raja Majapahit memberikan keleluasaan bagi dakwah Islam. Sebab, penganutnya sangat saleh dan awalnya menjauhi urusan politik. Dengan demikian, Islam dulu lebih bercorak kultural. Kebijakan ini lebih memberikan peluang secara leluasa dalam proses islamisasi di tubuh internal Majapahit. Percepatan islamisasi terkait pula dengan pencarian titik temu antara agama Islam dan agama Hindu-Buddha.

Keruntuhan Majapahit disebabkan banyak faktor, terutama faktor politik. Ini terbukti bahwa pascakekuasaan Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada, tidak ada lagi orang kuat sebagai penggantinya. Oleh sebab itu, legitimasi kekuasaan raja-raja Majapahit sangat rentan tak berdaya. Ini kemudian menimbulkan perang saudara yang melibatkan elite kerajaan. Kejadian ini kemungkinan disebabkan adanya konflik hebat di kalangan keluarga raja sehingga Majapahit gagal mengisi posisi raja secara definitif.

*Penulis: Pustakawan, TBM Pustaka Hasyim Asy’ari Yogyakarta.

Mengintip Kebrutalan G30S

Judul : Banjir Darah di Kamp Konsentrasi
Penulis : NH Atmoko
Penerbit : Galang Press, Yogyakarta
Edisi : I, 2011
Tebal : 215 halaman
ISBN : 978-602-8174-45-9
Peresensi : Ali Mahmudi Ch *)

"Di balik jeruji penjara yang kokoh, mayat berlumuran darah terserak di berbagai tempat. Sosok-sosok manusia sekarat tergeletak di mana-mana. Bahkan, sebagian telah membusuk-bangkai. Mereka dikuburkan tak selayak jenazah dimakamkan. Bahkan dibuang ke sungai-sungai. Sungguh kejam dunia ini." (NH Atmoko)

Membaca dari memoar kecil NH Atmoko ini, sangat miris kita merasakannya. Sebuah fenomena tragis melanda negeri pertiwi ini. Betapa kejamnya dunia ini. Seonggokan manusia diperlakukan sebagaimana hewan piaraan. Mereka disuruh kerja keras tanpa harus mendapat bayaran. Jangankan bayaran, makan pun tidak diberikan. Sungguh, kekejaman ini telah menyayat dan mengakhiri hidup korban. Dunia sungguh kejam!!!

Kisah seperti itu sedikit mirip kita sebut dengan dongeng atau drama film kekejaman manusia. Tetapi bukan. Kisah seperti itu memang nyata. Di negeri kaya raya akan hasil alam, sejumlah manusia berseragam, menenteng senjata bedil, mereka menjadi pengemban nafsu angkara murka. Mereka bertindak semena-mena dengan melibatkan orang-orang kecil tak berdosa untuk dijadikan korbannya.

Buku bertajuk Banjir Darah di Kamp Konsentrasi karya NH Atmoko ini merupakan buku yang tergolong nyeleneh dari zamannya. Buku ini memang aneh dan unik. Penulis memulainya dari kisah duka yang dirasakan betapa pedihnya saat itu. Memoar kecil ini merupakan catatan sejarah duka-derita penulis berkaitan dengan Tragedi 1965. Sebuah mukjizat tersendiri, di tengah-tengah penderitaan yang mahadahsyat itu, penulis mampu bertahan hidup.

Tak hanya sebagai catatan pribadi, tetapi buku ini merupakan memoar sejarah kemanusiaan yang ditulis langsung oleh pelakunya. Sebagai penulis, NH Atmoko mengajak kita melihat/memahami sejarah perspektif kalangan bawah yang nyaris terabaikan. Memoar kisah-kisah diceritakan dengan gaya kepiawaiannya yang unik. Tak hanya itu, pengisahannya juga didasari oleh ketajaman daya ingat penulis.

Sebagai simbol tersendiri, penggambaran situasi/setting dibuat dengan sangat menyentuh rasa kemanusiaan pembaca. Bagaimana penulis menyimbolkan kecintaannya terhadap bangsa telah terlukis indah di dalam buku ini. Penulis mengisahkan memoarnya dengan gaya yang hampir sama persis dengan gaya pembacaan sejarah yang ditulis oleh Paul Thomson.

Paul Thomson, The Voice of The Past (2000), dalam teorinya ia mengemukakan bahwa dengan menyodorkan perspektif baru dari bawah, menggeser fokus kajian dan membuka wilayah pencarian yang baru, serta dengan menyuarakan narasi dari kalangan yang selama ini terabaikan, maka sebuah narasi sejarah telah melakukan transformasi. Berangkat dari sinilah penulis menarasikan memoarnya. Ini merupakan tawaran yang diberikan penulis untuk menganalisis sejarah perspektif kaum bawah.

Buku ini mempunyai daya tawar yang begitu luar biasa menariknya. Penarasian pengalaman pribadi dalam melihat periode sejarah tahun 1960-an yang penuh kekejaman dan semena-mena dilakukannya dengan sistematika yang sedemikian apik. Perspektif penulisan sejarah seperti ini jarang sekali dilakukan penulis lain. Bahkan, untuk kepentingan politik, penulisan sejarah dibombastis sedemikian rupa untuk melanggengkan kekuasaan.

Kehadiran buku ini diharapkan mampu menjadikan transformasi pembacaan sejarah. Manusia tidak lagi hanya cukup dengan mengamini narasi sejarah versi kekuasaan. Mereka diharapkan lebih terdorong menarasikan dari perspektif lain yang berbeda, khususnya dari kalangan pelaku sejarah yang telah menjadi korban dan terpinggirkan.

Buku memoar ini mempunyai peran penting di era kontemporer sekarang. Mengembangkan memoar/catatan-catatan kecil dari orang yang terpinggirkan merupakan salah satu wujud dokumentasi sejarah. Betapa pun pahit-getirnya, dokumentasi sejarah mutlak diperlukan. Selain sebagai dokumentasi, memoar seperti ini merupakan bahan ajaran dari pengalaman masa lalu.

Sebab, baik disadari maupun tidak, masa lalu merupakan salah satu unsur yang tak bisa diabaikan, baik untuk perenungan masa kini maupun periode masa depan. Buku ini semakin membimbing kita untuk menjadi bangsa yang berperikemanusiaan, adil, dan beradab. Dengan membaca memoar sejarah ini, kita bisa membayangkan seolah-olah berada pada masa-masa mencekam yang penuh penderitaan itu.

Sudah sepatutnya, kehadiran buku memoar sejarah duka-derita NH Atmoko ini kita sambut dengan penuh antusias. Selain menggugah naluri watak kemanusiaan kita, buku ini juga mengajarkan kita untuk menjadi dewasa dan makin cerdas membangun masa depan yang cerah. Sebab, bangsa yang baik adalah bangsa yang paham tentang sejarah kehidupannya dan mencoba keluar dari keterpurukan sejarah masa lalu guna menggapai masa depan yang gemilang.

*Penulis: Pustakawan TBM Pustaka Hasyim Asy’ari Yogyakarta.
diambil dari http://oase.kompas.com/read/2011/02/08/22090194/Mengintip.Kebrutalan.G30S

Jumat, 04 Maret 2011

Hidang Maulid, Yang Hilang Kala Perang

Bulan Rabiul Awal selalu istimewa bagi masyarakat Aceh. Sepanjang bulan ini, perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW digelar. Warga antarkampung saling kunjung. Di meunasah dan masjid mereka berkumpul, berpesta, dan bersilaturahmi dalam acara hidang maulid. Kebersamaan yang meriah. Sebuah kebersamaan di bulan istimewa yang sempat menghilang di kala perang.

Pagi di akhir pekan ini, Jafar (40), tampak sibuk meracik bumbu di sebuah tenda sederhana di sebelah masjid. " Kalau dagingnya sudah empuk, baru bumbu ini dimasukkan," kata dia.

Jafar bersama 14 warga sekitar masjid Baitussolihin, Desa Ulee Kareng, Kecamatan Ulee Kareng, Banda Aceh, memasak kari sapi. Kari inilah yang akan jadi menu utama kenduri bersama warga se-Kecamatan Ulee Kareng dalam acara Hidang Maulid di halaman masjid Baitussolihin hari itu.

Tiga ekor sapi dewasa sudah selesai dipotong-potong menjadi serpihan kecil daging. Delapan wajan besar pun disiapkan. Sebanyak 15 juru masak, yang semuanya pria dengan terampil memasukkan bumbu ke dalam rebusan daging di wajan. "Sudah jadi tradisi, dalam acara hidang maulid yang memasak bapak-bapak. Biar nanti ibu-ibu yang menikmatinya," ujar Jafar sambil tertawa.

Tak jauh dari tenda memasak itu, persisnya di halaman masjid, ratusan orang dari berbagai desa dan instansi, sibuk menyiapkan hidang, wadah-wadah nasi yang dihias aneka warna. Sembari menunggu juru masak selesai memasak kari, ratusan orang itu lalu berpawai keliling kampung. Suara rebana, rapai, dan serunai kalee (alat musik tiup khas Aceh) yang dimainkan pemuda dan pemudi, meningkahi pawai maulid itu.

Di antara peserta pawai tampak sejumlah anggota TNI dan kepolisian. Mereka tak sedang mengamankan, tapi juga turut sebagai peserta pawai. Tak lupa, mereka pun membawa idang nasi yang sudah dihias.

Usai pawai, mereka kembali ke halaman masjid. Setelah jeda salat Dhuhur, ribuan orang dari berbagai kampung berdatangan. Mereka membawa berbakul-bakul nasi yang dibungkus daun maupun kertas. " Ini untuk hidang bersama," ujar Aminah (35), warga Ulee Kareng.

Setelah itu, ribuan warga dari berbagai desa itu pun bersilaturahim. Mereka saling bersalaman sambil menyanyikan tembang salawat nabi. Hingga akhirnya, acara santap bersama pun dimulai dan menjadi penutup acara tersebut.

"Ini untuk merayakan maulid nabi. Tapi lebih dari itu juga di acara ini menjadi tempat silaturahim dan menjalin kebersamaan warga di kecamatan ini sehingga makin bersatu," kata Jamal Yunus, ketua panitia Hidang Maulid.

Hidang Maulid sudah menjadi tradisi lama masyarakat Aceh. Sejak Islam masuk ke wilayah ini, tradisi ini muncul. Di hampir semua kabupaten dan kota di Aceh, kegiatan ini ada, terutama di desa-desa.

Bagi masyarakat Aceh, perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW tak hanya tepat tanggal 12 Rabiul Awal. Namun, sebulan penuh warga dapat menggelar hidang maulid. Terkadang, tiga bulan sesesuah 12 Rabiul Awal pun masih ada kampung yang menggelar. Hal ini karena tiap kampun atau desa menggelar bergiliran.

"Tiap kampung menggelar ini. Biasanya, kami selalu mengundang warga kampung lain untuk datang menikmati hida ngan yang disediakan tiap warga kami. Kami berkumpul di meunasah. Setelah tahlil, lalu menikmati kesenian tradisional, terus makan bersama. Ratusan sampai ribuan orang berkumpul. Ini seperti hari raya bagi kami," ujar Hamzah (40), warga Ulee Kareng.

Namun, sesungguhnya, kebersamaan yang meriah dalam perayaan maulid ini baru kembali terasa 4-5 tahun terakhir, khususnya setelah tsunami. Sepanjang tahun 1980-awal 2000, kemeriahan maulid nyaris tenggelam ditelan ketakutan warga yang tercekam konflik antara TNI/Polri melawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

"Jangankan merayakan maulid, mau ke pasar aja kami takut. Apalagi kumpul-kumpul orang segini banyak," tutur Hendra Saputra (30), warga Kecamatan Idie Rayeuk, Aceh Timur.

Masa status daerah operasi militer (DOM) dan darurat militer adalah masa yang paling traumatis bagi warga Aceh saat ini, terutama di desa-desa.

"Kala itu, nyaris tak mungkin menggelar perayaan besar. Sebagian besar pemuda desa memilih merantau. Di kampung-kampung tinggal perempuan dan pria-pria lanjut usia. Kami waktu itu takut dituduh macam-macam," kata Hendra.

Namun, perihnya bencana tsunami menjadi berkah. Sejak saat itu, konflik mereda. Setelah perjanjian Helsinki dan lahirnya Aceh yang otonom, masa damai pun teretas. Sesuatu yang sangat disyukuri warga Aceh. Ini sekaligus pelajaran bagi keindonesiaan kita; saban ekspresi ketidakpuasan daerah tidaklah harus dihadapi dengan bedil.

"Kini, kami semua damai. TNI/Polri dan masyarakat bisa kumpul bersama di hidang maulid. Sesuatu yang dulu tak mungkin terjadi," tandas Hendra.

Senja Pilu

Cerpen: Ayu Suciartini

Desa ini aneh. Begitu senyap. Meski aku tahu letaknya tidak jauh dari kota. Pagi, senja, hingga langit pekat tak membuat desa ini riuh. Lampu telah menontonkan cahayanya, namun tetap saja bagai lampu sentir yang remang nyalanya di ufuk malam. Hanya temaram dengan suara jengkerik yang mulai berbisik. Hal ini mengusikku. Gelisahku mulai bergumam. Mungkinkah telah terjadi sesuatu? Hingga lima jam aku menunggu. Pun tanyaku tak bersambut. Resah telah mencekam desa kelahiranku.

Angin yang menyentuh seperti kaku. Angin yang tak biasa juga membuat jendela rumah penduduk tertutup rapat. Tak memberiku celah untuk mengintip. Langkah ini tetap menuntun di kegelapan. Hingga aku sampai pada satu rumah di sudut gang. Tak banyak berubah. Berandanya masih penuh meja-meja kayu jati, tempatku bersama lima kawan kecilku mengerjakan hitungan matematika, fisika, serta sesekali mendengar epos Mahabarata. Hanya saja, meja kecil ini sudah lapuk, rongga-rongga yang tampak membesar kian hari, lengkap dengan serpihan kayu yang jatuh terurai oleh hewan tetani. Kupandangi kesunyian ini. Menguak memori masa silam hidupku. Tawa liar bocah kecil seperti menggema. Redup lagi, ada tangis yang bersahutan, sesekali nafas semangat berembus menyapaku.

Langkah kaki yang melintas di depanku mengusir hayalku. Coba mendekat, memaknai gesture lelaki berpeci itu. Sepertinya ia baru saja melakukan perjalanan jauh.

"Maaf Pak, Tyang (saya) mau tanya mengapa desa Nagasari ini bagitu sepi Pak?

Tanyaku berlalu. Bapak paruh baya itu bungkam. Sepertinya diam menjadi pilihan yang tepat untuk menyelamatkan desa ini. Meratapi tubuh dingin Bapak tua itu, nampaknya aku hafal bagaimana cara orang itu berjalan. Namun sayang, aku tak diberi waktu banyak untuk mengingatnya.

Sepi ini sebentar lagi akan membunuhku. Aku berharap akan kecewa. Tapi tidak, rasa ini semakin kuat, terperajat untuk menemukan serpihan kenanganku bersama desa ini. ‘Nagasari, 11 April 1986’, kutemukan batu paras bertuliskan tanggal memesona. Ya…aku ingat, jemari lunglai Gde Botol, salah satu kawanku mengukir itu.

'Ingat selalu ya, nanti kita ketemu lagi di sini.'

Suaranya hidup lagi bersama kesedihan yang telah coba kukubur. Sedikit berdebu, aku mengibas beberapa pasir yang menutup batu paras itu. Bagaimana seorang anak usia sembilan tahun menyembunyikan kesedihannya? Coba beritahu aku. Gde Botol, kawan sepermainanku harus menghilang karena hukum kesepekang (dikucilkan). ‘manak salah’,(kembar buncing) saat itu berubah jadi hukum rimba bagi keluarga Gde Botol. Aku belum cukup mengerti, namun aku tahu seseorang menangis artinya mereka tengah bersedih. Anak sekecil itu dihujat, diarak keliling desa karena Ibunya beranak kembar buncing. Bayi mungil dengan jenis kelamin yang berlainan dianggap membawa leteh (kotoran) yang harus segera dibersihkan.

Deru bertalu memecah dada. Persahabatan kami dimutilasi. Seperti nyanyian balonku ada lima, kini satu balon harus kami lepas. Aku tak mengerti hukum ‘manak salah’ itu. Sejak itu, senja di desa ini seolah bisu. Mahluk dewasa yang lebih mengerti tetap bungkam. Mereka sibuk mengadakan upacara mebersih, membuang malapetaka. Rerumputan berembun tangis. Hukum tidak boleh dibicarakan. Mereka percaya, siapa yang membahas hukum ini, kutukan akan datang pada keturunan mereka. Suram yang makin kelabu. Di pengasingan itu, Gde Botol tidak bisa bermain lagi. Aku ingat perut buncitnya yang selalu lapar ketika menghirup aroma makanan. Kini, Gde Botol tinggal di pengasingan dengan makanan seadanya. Ia akan ditangkap apabila keluar. Aku tak mampu lagi membayangkan kesedihan di balik tembok-tembok yang terus membisu. Kembar buncing itu, bagaimana nasibnya? Belum lagi keluarga Gde harus membayar denda yang jumlahnya tak sedikit. Kemelaratan ini melibas keluarga tak berdaya. Setelah hukum kesepekang itu, tak kudengar lagi kabar Gde Botol juga kembar buncing.

Desir angin yang berbisik di celah bambu memutar kembali memoriku. Aku kembali ke desa ini untuk sebuah tujuan. Menyergap diam yang terpendam. Di rumah ini, aku akan menemukan jawaban; bukan pilu, itu harapku. Kuperhatikan lagi detail bangunan tua ini. Seolah tumbuh, seperti umurku yang menahun kian usang. Ada rumbai menggelayut di depan pintu. Memberiku aba-aba, mempersilakan masuk tanpa harus menunggu jawaban sang pemilik rumah.

Terus melangkah pada malam yang retak; sambil sesekali menoleh. Mungkin aku menemukan orang di dalam rumah tua ini. Aku telah hafal betul lika-liku rumah ini; rumah singgah adalah rumahku selama 10 tahun. Kakiku membentur sesuatu. Ya…sebuah kursi panjang di depan kamar Ibu Mutia, tempat aku dan 5 kawan kecilku mengintip lelaki yang sering mampir, membawa banyak makanan untuk kami.

"Hey, bocah pingitan, hentikan tingkah tidak sopan kalian. Kecil-kecil suka ngintip, kudoakan mata kalian bisulan."

Tiada henti Bu Mutia mengatai kami, hujan amarah akan terlontar jika kami masih berniat memuaskan rasa ingin tahu kami.

Bu Mutia, salah satu pengasuh kami. Kala itu, umurnya 26 tahun, masih cantik dan segar. Meski pemarah, perihnya tak mendarah daging. Dalam celah hatinya, aku tahu ia ingin menjadi Ibu yang baik untuk kami. Buih kekerasan merona pekat di hidup Bu Mutia. Perkawinannya kandas lantaran tidak mampu memberi keturunan. Luka itu tak dibiarkannya terkulai lagi. Phobia yang berhasil ia lalui, membuatnya seperti ini. Kering rasa.

Tubuh Bu Mutia sangat anggun. Lekuknya tertata dengan indah, seolah belum terjamah. Ia adalah penari joged primadona di desa Nagasari ini. Meski bukan warga asli; Bu Mutia seolah tercipta begitu lentur untuk menari. Itulah cerita lelaki yang selalu datang ke rumah singgah kami dan merayu Bu Mutia. Lelaki tak bernama itu sering kulihat meratapi senja di celah jendela kamar Bu Mutia. Seolah mengusir sepinya. Aku tak paham hubungan Bu Mutia dengan lelaki itu. Lelaki itu termenung, menatap lekat air mata Bu Mutia, saat kami mengintip mereka yang tengah berdua. Mereka berpeluk, seperti menyepakati sesuatu. Lalu meninggalkan Bu Mutia yang tengah mengusap air matanya. Lalu lelaki itu menghampiri kami.

"Tak bisakah kalian berhenti mengintip, kalian sebenarnya tengah mencuri jika melakukan ini."

Kata-kata itu membuat kami berlalu. Namun, Luh Gina, kawanku satu-satunya perempuan, menghentikan laju lelaki tak bernama itu.

"Tuan, apakah kau suami Bu Mutia?" "Anak manis, aku hanya lelaki singgah, sama seperti rumah singgah ini di hidup Bu Mutia. Tapi aku tahu banyak tentang hidup Ibu asuh kalian itu." "Aku tidak mengerti tuan, ceritakanlah apa yang tuan tahu. Kami menyayangi Bu Mutia, kami juga ingin menghapus air matanya, sama seperti yang tuan lakukan. Tapi kami tak mampu."

Lelaki nan gagah itu mirip sosok seorang Ayah yang kudamba. Ia memeluk kami sambil memberi camilan kecil. Lalu duduk di kursi panjang tempat kami mengintip. Aku menatapnya erat. Garis halus di keningnya ingin ku sentuh dan memeluknya balik. Suasana ini yang sering aku impikan. Bersenda gurau bersama sosok yang disebut Ayah. Pun aku melihat mata sayu kawanku memandangi lelaki tak bernama ini bertutur. Mungkin rasaku sama dengan 5 Kawan kecilku itu. Kami menginginkan sebuah keluarga, lengkap dengan manusia yang bernama Ayah, Ibu, juga anak-anak.

Lewat desahan nafas, lelaki itu menggulirkan kalimat yang penting, "Bu Mutia telah kehilangan rahimnya sejak jadi penari joged."

Kalimat itu membuat kami mematung; mendengarkan dengan saksama. Lena disihir pujian, Bu Mutia bukan hanya menggunakan tubuhnya untuk menari. Ia menjalang lewat tarian. Masa lalunya yang kelam. Senyumpun rasanya pahit. Berlebih ketika Bu Mutia memutuskan untuk mengangkat rahimnya, agar tidak beranak pinak. Dan ia bebas mengundang lelaki belang menelanjangi tubuhnya. Karma itu telah tumbuh, kini tangis Bu Mutia mengeram, merindukan memangkul buah hati. Karma itu membedah kembali lukanya.

Lidahku kelu. Aku tak mengerti secara utuh. Namun, Lelaki itu bersedia mengeja kata yang lebih sederhana untuk kami pahami. Bu Mutia menelanjangi jiwanya, merelakan luka itu kembali dibedah hanya untuk menutupi kebutuhan kami. Pria dengan dasi warna-warni, menghampiri malam-malam Bu Mutia itu, ternyata membayar makanan, pakaian, serta keperluan kami.

Risauku berlagu. Apa aku begitu jahat pada Bu Mutia? Memenuhi seluruh otakku dengan pikiran-pikiran busuk terhadap sang dewi? Aku, dan 5 kawanku bukan anak kandung Bu Mutia, bukan pula siapa-siapa. Lalu, mengapa ia begitu baik? Dan mengapa ia memilih untuk tinggal bersama bocah yang tak karuan asala usulnya seperti aku dan 5 kawanku yang lainnya. Memandangi hujan di beranda rumah singgah ini, kami berbincang tentang mimpi dan Bu Mutia.

Setiap liku rumah ini penuh kenangan. Tak kusudahi membasuh diri dengan kenangan itu. Kenangan yang membuatku menemukan warna. Kepedihan ini terasa beranak pinak. Senandung Ibu yang kurindu sejak kecil tak bertandang. Dekapan Ibu yang menurut cerita orang, sangat hangat tak pernah membelaiku. Jiwaku penuh sumpah serapah. Hina dalam didih yang perih. Beginilah nasib anak-anak di pesinggahan. Di luar, mereka mencaci kami sebagai anak hina;hasil hubungan gelap, sehingga kami tidak bertuan. Ucapan itu ada benarnya, tapi tidak sepenuhnya benar. Aku mempunyai Ibu, Bu Mutia. Pun Tuan tak bernama aku sebut Ayah.

Di antara kami, Gde Botol paling beruntung. Ia punya keluarga dan cinta. Menggores kanvas indah di hidupnya dengan cerita indah sebuah keluarga. Namun, kepedihan kembali berlagu untuk kami. Bagaimana kawanku itu harus menyerah pada hukum alam. Bu Mutia saat itu kehilangan satu anaknya. Ia selalu menyembunyikannya dihadapan kami dengan pura-pura marah. Lalu memeluk kami. Seraya berucap.

"Nak, hanya kalian mampu mengubah hidup kalian. Ibu tidak ingin nasib kalian seperti Gde Botol atau Ibu."

Sayup kata terakhir itu terus berdendang bersama mimpiku.

Memendam luka teramat perih membuatku takut bermimpi. Namun luka itu pula menjelma jadi hasrat. Hasrat untuk melawan getir kepedihan. Air mata adalah kebodohan. Ketika kini, aku kembali membawa mimpi itu untuk Ibunda Mutia dan 4 kawanku yang tersisa. Bu Mutia berharap padaku untuk melakukan perubahan. Aku disekolahkannya setinggi mungkin. Kini aku pulang dengan gelar sarjanaku. Kadek Ayu Kartika Priyatna, S.Pd, aku telah jadi guru di sebuah sekolah ternama. Mengajar adalah hidupku, seperti Bu Mutia. Ternyata indah, membuat mahluk lain memahami arti sebuah hidup.

Aku kembali mengurai ar mata. Rahasia kesedihan kembali bergema. Aku terlambat. Bu Mutia, kawanku, rumah singgah, dan kenangan itu telah terkubur. Rumah ini telah disita. Pun penghuninya tidak terjamah lagi. Entah kemana. Serpihan itu luluh lantah…tetap bisu, seperti desa yang telah mati ini. Desa dengan senja pilu.
Diambil dari http://oase.kompas.com/read/2011/02/23/19431840/Senja.Pilu

Cirus Tak Ditanya Soal Uang Suap

JAKARTA, KOMPAS.com - Dari 30 pertanyaan yang telah diajukan penyidik Bareskrim Polri, Jaksa Cirus Sinaga tak ditanya terkait penerimaan suap. Cirus diperiksa sebagai tersangka terkait kasus korupsi dalam mafia kasus Gayus Halomoan Tambunan.

"Pertanyaan soal uang enggak ada yah. Hanya masalah administrasi penelitian perkara," ucap Tumbur Simanjuntak, penasihat hukum Cirus sesuai pemeriksaan di Mabes Polri, Jumat (4/3/2011) sekitar pukul 20.00. Cirus diperiksa sejak pukul 10.00.

Tumbur mengatakan, pertanyaan yang diajukan seputar kronologis penetapan pasal korupsi, pencucian uang, dan penggelapan yang dikenakan ke Gayus. Cirus juga ditanya terkait pertemuan dengan Kompol Arafat Enanie, AKP Sri Sumartini, dan Haposan Hutagalung di Hotel Kristal, Jaksel.

"Cirus dan semua jaksa kasus Antasari sudah kumpul di sana (Hotel Kristal). Jadi bukan sengaja bertemu (Arafat, Sri Sumartini, dan Haposan) di sana," kata Tumbur.

Kepada wartawan, Cirus enggan berkomentar terkait pemeriksaan. Pria yang mengenakan pakaian batik warna cokelat itu memilih masuk ke mobil Mercedes Benz warna biru. Rencananya, Cirus akan melanjutkan pemeriksaan Selasa pekan depan.

Seperti diberitakan, Cirus dijerat Pasal 12 huruf e, Pasal 21, dan Pasal 23 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor. Penetapan tersangka kasus korupsi itu setelah melewati proses panjang. Cirus juga dijerat Pasal 263 KUHP terkait pemalsuan dokumen.

Berdasarkan fakta di persidangan, pertemuan di Hotel Kristal membicarakan pasal yang dijeratkan ke Gayus. Saat itu, menurut Arafat, Cirus mengatakan tak dapat menangani kasus Gayus jika hanya dikenakan pasal korupsi dan pencucian uang.

Kedua pasal itu harus ditangani bidang pidana khusus. Adapun Cirus bekerja di bidang pidana umum. Setelah diminta menambah pasal oleh Fadil supaya berkas perkara dinyatakan lengkap, Sri Sumartini akhirnya menambahkan pasal 372 KUHP tentang Penggelapan ke Gayus.

Cirus juga diduga memberi petunjuk kepada penyidik agar hanya menyita harta Gayus senilai Rp 370 juta dari total harta senilai Rp 28 miliar di rekening yang diblokir penyidik Bareskrim Polri. Akibatnya, Polri membuka blokir rekening Gayus.

Fakta di sidang lainnya, Cirus menghilangkan pasal korupsi dalam dakwaan. Nazran Aziz, salah satu JPU, mengaku hanya menyalin dakwaan dari rencana dakwaan (rendak) yang disusun Cirus. Dalam rendak, hanya ada pasal penggelapan dan pencucian uang. "Rendak itu tak mengikat (tak wajib diikuti)," kata Tumbur.

Gayus mengaku menggelontorkan uang untuk jaksa melalui Haposan. Salah satu uang yang diberikan agar jaksa tak menuntut tinggi.