Minggu, 20 November 2011

Pemimpin Mabrur, Rakyat Makmur

Pemimpin Mabrur, Rakyat Makmur
Oleh: Ali Mahmudi CH *)

Di penghujung bulan Dzulqo’dah ini, kita akan memasuki bulan Dzilhijjah. Bulan ini sering kita sebut dengan bulan haji. Saat-saat itulah kewajiban seorang muslim untuk menunaikan ibadah haji bagi yang mampu. Tak ada harapan lain dalam diri calon haji-hajah selain menggapai ridho Allah dan berimplikasi pada haji yang mabrur. Haji yang mabrur ini menjadi dambaan bagi setiap insan yang ingin menunaikan ibadah haji. Karena, tak ada balasan bagi haji yang mabrur, kecuali surga atas ridho Allah Swt.
Moment-moment seperti itu tak hanya terbatas pada tataran menunaikan ibadah haji semata. Namun, implikasi haji yang mabrur dapat menumbuhkan pribadi yang luhur. Inilah yang kemudian dijadikan patokan standar bahwa ibadah haji seseorang itu mabrur atau tidak. Haji yang mabrur dapat tercermin dari kepribadian seseorang ketika kembali ketanah air. Seseorang dengan nilai predikat kebaikan semakin bertambah, maka sudah dapat dipastikan kalau hajinya diterima dan diridhoi oleh Allah. Sehingga Allah senantiasa mencurahkan hidayah, taufiq, serta inayahnya kepada hambanya yang sholeh.
Orang yang sudah melaksanakan ibadah haji, idealnya memiliki kesalehan individual-ritual dan sosial yang tinggi. Sebagai hasil tempaan selama mereka berada di Tanah Suci. Karakteristik haji mabrur lebih rinci dikemukakan Rasulullah SAW, ”Tidak akan berhasil bagi orang yang melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci sekiranya tidak membawa tiga hal: sikap wara’ yang membendung dirinya melakukan yang diharamkan, sikap sabar yang dapat meredam amarah, dan bergaul baik dengan sesama manusia”.
Maka jelas, ibadah haji memiliki implikasi individual dan sosial. Jika implikasi ini tidak dimiliki jamaah haji, maka bisa jadi sabda Rasulullah tadi berlaku pada mereka. Implikasi itu adalah individu yang kian wara’ dan sabar serta bergaul baik dengan sesama. Wajar, jika haji mabrur menjadi satu amal utama dalam Islam selain iman dan jihad, dan hanya surga yang pantas diberikan sebagai imbalan haji mabrur.
Dalam pandangan Ali Syari’ati (1980), pakaian ihram melambangkan pelepasan semua sifat buruk dalam diri, yakni sifat serigala (kekejaman dan penindasan), tikus (kelicikan), anjing (tipu daya), dan kambing (penghambaan kepada selain Allah). Ali menambahkan, agar manusia yang menunaikan ibadah haji itu melepas segala bentuk yang menghalangi manusia untuk menjadi manusia seutuhnya. Dengan demikian, haji mabrur bisa membuat pelakunya menghilangkan semua sifat buruk tersebut dalam dirinya.
Sejatinya, makna substantif ibadah haji itu tidak terletak pada huruf “H” atau “Hj” di depan nama seseorang. Tetapi lebih pada aktualisasi nilai-nilai simbolik ibadah haji, berupa kesalehan individu dan sosial dalam kehidupan sehari-hari. Kemabruran haji tercermin pada kemampuan meningkatkan kualitas amal saleh, seperti kedermawanan, kerendahan hati, keadilan, dan sifat-sifat kemanusiaannya setelah kembali dari Makkah al-Mukarramah.
Agama Islam memandang penting terhadap sebuah kepemimpinan (ro`iyyah). Karena pada hakikatnya kita semua adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan itu. Ada beberapa kriteria Pemimpin yang disyaratkan dalam pandangan agama: Pertama, Amanah (terpercaya). Seoarang pemimpin harus mendapat kepercayaan masyarakat, karena sebuah masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera akan terbentuk manakala pemimpinnya mendapat kepercayaan (legitimasi) dari masyarakat.
Kedua, Fathonah (cerdas). Persyaratan menjadi pemimpin ideal, yakni memiliki kemampuan intelegen (IQ) yang standar, sehingga mampu menganalisa dan mengatasi masalah di wilayahnya. Ketiga, Tabligh (komunikatif). Pemimpin harus mampu berkomunikasi dengan masyarakat dan pimpinan yang ada di atasnya, sehingga akses informasi bisa diterima oleh semua masyarakat. Keempat, Shidiq (jujur). Kejujuran seorang pemimpin merupakan bagian dari kesuksesan dalam kepemimpinannya. Karena dengan kejujuran ini akan menghindarkan pemimpin yang korup. Dengan kejujuran ini akan menjadikan kepemimpinan yang transparan. Sehingga, tidak ada lagi kacurigaan publik terhadap kepemimpinan penguasa.
Pemimpin Ideal adalah Pemimpin yang dapat berkomunikasi secara efektif dalam situasi apapun dan bijaksana. Pemimpin yang dapat berkomunikasi secara efektif adalah: Pertama, Memberikan informasi yang update kepada seluruh bawahan dan koleganya secara terus-menerus, fakta yang terjadi di lapangan. Kedua, Secara proaktif meminta umpan balik dari bawahan. Ketiga, Memastikan adanya tindak lanjut atas masalah yang terjadi dalam suatu organisasi. Keempat, Selalu mengupdate informasi yang dimiliki berdasarkan fakta yang terjadi dilapangan.
Selain pemimpin yang mampu komunikatif, untuk menjadi pemimpin ideal harus bijaksana. Artinya, bijak dalam mengambil keputusan dan menempatkan sesuatu pada tempatnya dan sesuai porsi. Gambaran sikap pemimpin yang bijak, yakni sebagai berikut: Pertama, Memiliki rasa percaya diri dan dapat mengatakan bisa pada diri sendiri untuk dapat menyelesaikan suatu masalah. Kedua, Sensitif terhadap perasaan/emosi pihak lain/anak buah.
Ketiga, Dapat menyelesaikan masalah dengan cepat yang menjadi tanggungjawabnya dan terbiasa mendisiplinkan diri untuk mencari solusi setiap masalah dan bersikap action oriented. Keempat, Berpikir kedepan dan selalu berpikir contigency plan yaitu selalu mengembangan pikiran dalam beberapa skenario untuk mengantisipasi kondisi yang akan terjadi, disini anda akan lebih terlihat powerful. Kelima, Pikirkan selalu kenyamanan anggota organisasi dalam bekerja.
Selain hal yang harus dimiliki, pemimpin ideal juga harus menjauhi hal-hal buruk yang akan memperpuruk citra pemimpin dimata rakyat. Untuk itu, guna mencapai pemimpin yang ideal tidak disarankan menutup-nutupi permasalahan, berbohong atau mengatakan sesuatu yang sifatnya misleading. Walau sebagai pemimpin, harus menyimpan hal-hal yang bersifat cinfidential, namun hal-hal yang sifatnya terkaitn dengan keamanan, kesejahteraan harus disampaikan secara terbuka. Selain itu juga tidak diperkenankan menjanjikan sesuatu yang belum ada kejelasannya untuk direalisasikan. Apalagi sampai berbuat menyalahkan pihak lain atau mencari kambing hitam atas terjadinya masalah.

*Penulis: Pengamat Pada Pusat Study Syariah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Selasa, 01 November 2011

Amoi Singkawang, Novel Soal Perempuan Tionghoa

JAKARTA, KOMPAS.com - Amoi Singkawang, novel karya Mya Ye ini diterbitkan Penerbit Buku Kompas (PBK). Mya Ye lahir di Sukabumi, 1 Juni 1979 adalah dokter gigi lulusan Universitas Moestopo (Beragama) Fakultas Kedokteran Gigi (1997-2005), yang mengambil S-2 The London School of PR Jurusan Mass Communication, lulus tahun 2009.

Selain nove l Amoi Singkawang , Mye Ye sudah menulis beberapa novel lainnya, yaitu Luv Me, Princess; Cinta, Aku Harus Bagaimana?; Topeng (cerita bersambung); Jerawat? Gue Banget; Love on The Blue Sky, Pemburu Cinta.

Inilah sinopsis novel Amoi Singkawang yang sudah beredar di toko buku Gramedia.

Lahir dalam keluarga Cina modern, Shintia Arwida, seorang penulis muda, merasa sangat buta dengan ketidaktahuannya tentang sejarah dan asal-usul budaya nenek-moyangnya. Ia mengalami krisis identitas berat dan ingin pergi meninggalkan tanah kelahirannya. Namun sebelum itu, ia ditantang ayahnya untuk menggali sendiri akar budaya keturunannya.

Perjalanan membawa Shintia ke Singkawang. Kota seribu Kuil yang mayoritas penduduknya adalah etnis Cina. Di sana ia berkenalan dengan amoi-amoi yang sebutannya terkenal sampai ke luar Singkawang.

Melalui teman-teman barunya ini ia belajar banyak tentang kehidupan. Tentang ketaatan pada adat dan tradisi kuno dan rasa bakti terhadap orangtua dan keluarga, termasuk menikah dengan orang luar negeri, seperti Taiwan.

Batin Shintia memprotes ketidakadilan yang diterima oleh anak-anak perempuan dalam keluarga tradisional Cina. Dari kelahiran yang tak pernah diharapkan, suara yang tak pernah masuk hitungan, sampai menjadi sapi perah untuk mengubah kemiskinan.

Kemiskinan. Itulah yang menjadi awan kelabu amoi-amoi itu. Satu kata itu bisa menjungkir-balikkan kehidupan mereka. Tidak ada dana untuk pendidikan ditambah jejalan nasehat usang yang melarang anak perempuan bersekolah dan menjadi pintar mendukung pola pikir mereka yang pendek dan tidak bisa diandalkan. Yang ada dalam pikiran mereka hanya uang. Tak heran jika akhirnya mereka menuruti desakan orangtua untuk menikahi pria-pria asing yang mampu memberi mahar dalam jumlah tinggi.

Ironisnya, orangtua mereka pun seperti tak peduli bagaimana nasib anak perempuan mereka kelak ditangan suami yang tak pernah dikenal baik sebelumnya. Cinta hampir tak ada dalam kamus hidup mereka.

Tak hanya satu-dua amoi yang merasa ketakutan memasuki gerbang baru kehidupan mereka. Tapi sekali lagi mereka tak berdaya. Memprotes sama dengan membangkang perintah orangtua. Durhaka. Dan para amoi itu menunjukkan kualitasnya sebagai anak manusia. Menjadi tulang punggung keluarga. Meskipun seringkali pengorbanan mereka seolah tidak berharga.

Namun amoi-amoi yang tak berpendidikan tinggi ini justru menjadi guru kehidupan bagi Shintia. Pelajaran yang didapatnya dari mereka, baginya, jauh lebih berarti dari yang pernah diterimanya di bangku sekolah. Yang paling tinggi sekalipun. Bahwa mimpi tak selalu sejalan dengan kenyataan.

MUI Keluarkan "Taushiyah" Jelang Idul Adha

JAKARTA, (PRLM).- Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan "taushiyah" dan bimbingan keagamaan untuk masyarakat dalam rangka menyongsong Idul Adha 1432 H, pelaksanaan ibadah haji, dan ibadah kurban. Pemerintah sendiri telah menetapkan hari raya Idul Adha 10 Dzulhijjah 1432 H jatuh pada Minggu 6 November 2011.

Terkait dengan perayaan Idul Adha, Ketua MUI Umar Shihab meminta agar segenap umat Islam selain dalam menyambut syiar malam Idul Adha dengan mengumandangkan takbir, tahmid, dan tahlil dengan penuh kesemarakan, juga dapat senantiasa menjaga kekhidmatan, kekhusyukan, dan ketertiban.

“Bagi umat Islam yang hendak melaksanakan takbir keliling harap melakukan koordinasi dengaan aparat keamanan untuk terjaminnya ketertiban dan keamanan,” ujar Umar Shihab dalam keterangan pers, berlangsung di Gedung MUI, Jakarta, Selasa (1/11). Turut mendampingi, Ketua MUI lainnya Slamet Effendy Yusuf.

Sementara itu, terkait dengan ibadah kurban, diingatkan bahwa umat Islam yang melaksanakan ibadah kurban dapat mengindahkan standardisasi hewan yang disembelih. Hewan tidak cacat, bersih, dan jauh dari penyakit.

Dijelaskan Umar, sesuai dengan fatwa MUI No. 12/2009 tentang Standardisasi Penyembelihan Halal, dalam rangka menjamin keabsahan dan kemaslahatan ibadah kurban, hewan memenuhi syarat usia. Untuk kambing telah satu tahun, untuk sapi telah sampai dua tahun, dan untuk unta telah sampai lima tahun.

Umar menegaskan, hewan harus sehat. Untuk itu, kondisinya harus memenuhi standar kesehatan hewan yang ditetapkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan. Selain soal pemilihan hewan, juga memperhatikan tata cara penyembelihan dengan tetap mengacu pada standar/ketentuan yang berlaku.

Hal lainnya adalah memperhatikan kebersihan lingkungan, baik dalam proses pemeliharaan, penyembelihan, pengolahan, hingga pendistribusian. “Memperhatikan aspek kesehatan hewan. Untuk itu Kementan (Kementerian Pertanian) diminta menjamin kesehatan hewan,” katanya. (A-94/das)**