Rabu, 11 Februari 2015

KOPI

KOPI
Sajak By: Mahmudi el-Nur MH
Sepahit-pahit hidup
Hanya sebatas pahit kopi
Hidup tanpa kerja
Laksana kopi tanpa gula.
Tahu rasanya?
Hem... nikmatilah!
Itulah sisa hidupmu.
Jogja, 2013



SYAIR TOLAK-ANGIN

SYAIR TOLAK ANGIN
Sajak By: Mahmudi el-Nur MH
Ku kirimkan syair bersama hembusan angin malam
Menerbangkan bintik-bintik hujan
Semakin membasahi kegelapan
Gelap berlapis pekat semakin mencekam
Angin berhembus badai menyambar kegelapan
Syair-syair penyair mengalir laksana sungai
Mengklupas dingin dan menyapu angin
Tiba-tiba datang untaian
Kehangatan kata-kata
Menggertak badai menyambar gelombang
Derita pun mulai reda.
Ah lega...
Jogja, 2013


VIRUS BID'AH

VIRUS BID’AH
Sajak: Mahmudi el-Nur MH
Gerombolan jubah putih-putih
Berikatkan serban di kepala
Jenggot lebat nan panjang
Tampak subur terurus
Dua tanda hitam di jidatnya
Lisan berkomat-kamit jarinya memutar tasbih
Berjalan menyusuri kampung-kampung.
Hadits hafalannya tiga bulan kemarin
Disebut-sebut dalam setiap pengajiannya
Mengklaim bid’ah di sana-sini
Haram ini haram itu
Karena tak pernah dilakukan Nabi, katanya.
Nerakalah balasan akhirnya,
Begitulah kira-kira tuturnya.
Padahal, tanpa sadar mereka sendiri
Nenek moyangnya bid’ah
Sebab, Nabi tak pernah ceramah dengan bahasa mereka
Apalagi dengan keras kepala mereka.
Ah... wallahu a’lam
Allah lah yang tahu segalanya.

Jogja, 2013 

Kumpulan Puisi Sosial Sajak-sajak Nanang Suryadi

Kumpulan Puisi (Sajak) Negeri Yang Menangis


NeGErI YaNG MeNAngIs

ALDORA MELUKIS KOTA (1)

aldora melukis kota, jemarinya memulas cat hitam dan merah pada kanvas yang lusuh, ada kegusaran yang memusar, pada wajah 

"mengapa rusuh juga yang membakar kota-kota?"

kau mau minum kopi aldora? atau sebatang rokok
mungkin bisa hilangkan pening dalam kepala
aldora melukis kota, juga manusia tak jelas wajahnya merah hitam dipulasnya, dicampur baur, mungkin sebentuk luka
tanganmu kotor, aldora
jemari halus dan kuku putih tak berupa
:mengapa luka?

"mengapa bukan cinta!"

ALDORA MELUKIS KOTA (2)

aldora melukis kota. dengan jemarinya ia guratkan kota yang telah berubah. wajah-wajah manusia yang muram.
"berapa banyak rumah yang harus ditumbangkan, dora? berapa sawah berubah menjelma rumah mewah?"
kau tak menjawabnya dengan kata-kata. karena apa? (takutkah engkau untuk mengatakannya dengan mulutmu?)
aldora melukis kota. warna-warna memar tumpah ruah di kanvas. meledak juga tangisnya di lukisan kota yang terbakar!
cilegon, 1997

PEREMPUAN YANG MENJERIT

perempuan yang menjerit. adalah ibu melihat kanak yang marah membakar gedung  juga rumah ibadah. dengan kepedihan yang terpendam. sekian lama. siapa menyulut siapa. kerusuhan meledak di mana-mana. ( mobil-mobil terjungkal penuh asap dan api, perempuan diperkosa hingga mati, kepala manusia diarak di jalan-jalan, darah berceceran ---hugh perutku mual! sungguh!)
"cinta! mengapa berlari?" aku bertanya
"adam, nuh, ibrahim menangiskah engkau?" ibu ganti bertanya
"cinta! mengapa berlari?"
ibu menatapku, tapi tatapnya adalah gelombang menghantam hatiku:
"kanak-kanakku, kalian semua bersaudara. kalian semua bersaudara. mengapa terus kau sulut kebencian di mana-mana?"


NEGERI TEROR

kau merasa dinding mendengarkan pembicaraan
mata-mata membayangi setiap gerak-gerik

sepertinya, telinga penguasa ada di mana-mana
menguping obrolan-obrolan kebosanan

ketakutan yang mencekam
ketika pistol teracung menempel di jidatmu

makian yang mana hendak dimuntahkan
kepada siksaan penuh teror

memasuki mimpi-mimpimu

Malang, 1998



SENDANG DRAJAT

bunga yang ditabur bawah pohonan
batu berserak, imaji kepurbaan
kolam kecil, janji kejayaan

sipa menyepi di tengah bumi
di dalam goa

alir air kecil sekali
hanya gemercik
menimpa batu kali

"nenek moyang, nenek moyang", ada suara memanggil

aku lihat tarian kekhusukan
melawan ketakutan pada kekuatan tak terpahami

kesunyian ini begitu angker
hutan jati mengepung
batuan terjal angkuh menjulang
akar pohonan tersembul di permukaan
bau kembang bertebaran
sisa asap dupa

"apa yang diingini manusia, harta atau bahagia?"

6 September 1998


NEGERI YANG MENANGIS

beribu kata terlontar dari bibir gemetar: senja yang kaugugurkan dari tatapan perlahan tumbuh menjadi nyala. anak-anak berpaling dari masa lalu.

betapa sunyi. betapa sunyi. menyusuri nasib negeri sendiri. ada yang teramat sedih menderaskan airmata. ada yang teramat marah memuntahkan api.

"kuasa! kuasa!"

dan aku menggigil
menulis: indonesia!

Madiun, September 1998

NYANYIAN BUAT KANAK

Sungguh, di masa sulit ini
Aku ingat wajahmu,
Sebagai pengobat kegetiran

Binar mata, tawa mengekeh
Atau tangis pada dini hari
Luruhkan kesumpegan

Dari tangan-tangan yang mencoreti dinding rumah
Aku temukan lukisan terindah lahir dari kemurnian

Aku menimba kesejukan
Pada tatapan

Lebur darah keringatku
Di dalam dirimu

Madiun, 2 September 1998


Senja Pilu

Cerpen: Ayu Suciartini

Desa ini aneh. Begitu senyap. Meski aku tahu letaknya tidak jauh dari kota. Pagi, senja, hingga langit pekat tak membuat desa ini riuh. Lampu telah menontonkan cahayanya, namun tetap saja bagai lampu sentir yang remang nyalanya di ufuk malam. Hanya temaram dengan suara jengkerik yang mulai berbisik. Hal ini mengusikku. Gelisahku mulai bergumam. Mungkinkah telah terjadi sesuatu? Hingga lima jam aku menunggu. Pun tanyaku tak bersambut. Resah telah mencekam desa kelahiranku.

Angin yang menyentuh seperti kaku. Angin yang tak biasa juga membuat jendela rumah penduduk tertutup rapat. Tak memberiku celah untuk mengintip. Langkah ini tetap menuntun di kegelapan. Hingga aku sampai pada satu rumah di sudut gang. Tak banyak berubah. Berandanya masih penuh meja-meja kayu jati, tempatku bersama lima kawan kecilku mengerjakan hitungan matematika, fisika, serta sesekali mendengar epos Mahabarata. Hanya saja, meja kecil ini sudah lapuk, rongga-rongga yang tampak membesar kian hari, lengkap dengan serpihan kayu yang jatuh terurai oleh hewan tetani. Kupandangi kesunyian ini. Menguak memori masa silam hidupku. Tawa liar bocah kecil seperti menggema. Redup lagi, ada tangis yang bersahutan, sesekali nafas semangat berembus menyapaku.

Langkah kaki yang melintas di depanku mengusir hayalku. Coba mendekat, memaknai gesture lelaki berpeci itu. Sepertinya ia baru saja melakukan perjalanan jauh.

"Maaf Pak, Tyang (saya) mau tanya mengapa desa Nagasari ini bagitu sepi Pak?

Tanyaku berlalu. Bapak paruh baya itu bungkam. Sepertinya diam menjadi pilihan yang tepat untuk menyelamatkan desa ini. Meratapi tubuh dingin Bapak tua itu, nampaknya aku hafal bagaimana cara orang itu berjalan. Namun sayang, aku tak diberi waktu banyak untuk mengingatnya.

Sepi ini sebentar lagi akan membunuhku. Aku berharap akan kecewa. Tapi tidak, rasa ini semakin kuat, terperajat untuk menemukan serpihan kenanganku bersama desa ini. ‘Nagasari, 11 April 1986’, kutemukan batu paras bertuliskan tanggal memesona. Ya…aku ingat, jemari lunglai Gde Botol, salah satu kawanku mengukir itu.

'Ingat selalu ya, nanti kita ketemu lagi di sini.'

Suaranya hidup lagi bersama kesedihan yang telah coba kukubur. Sedikit berdebu, aku mengibas beberapa pasir yang menutup batu paras itu. Bagaimana seorang anak usia sembilan tahun menyembunyikan kesedihannya? Coba beritahu aku. Gde Botol, kawan sepermainanku harus menghilang karena hukum kesepekang (dikucilkan). ‘manak salah’,(kembar buncing) saat itu berubah jadi hukum rimba bagi keluarga Gde Botol. Aku belum cukup mengerti, namun aku tahu seseorang menangis artinya mereka tengah bersedih. Anak sekecil itu dihujat, diarak keliling desa karena Ibunya beranak kembar buncing. Bayi mungil dengan jenis kelamin yang berlainan dianggap membawa leteh (kotoran) yang harus segera dibersihkan.

Deru bertalu memecah dada. Persahabatan kami dimutilasi. Seperti nyanyian balonku ada lima, kini satu balon harus kami lepas. Aku tak mengerti hukum ‘manak salah’ itu. Sejak itu, senja di desa ini seolah bisu. Mahluk dewasa yang lebih mengerti tetap bungkam. Mereka sibuk mengadakan upacara mebersih, membuang malapetaka. Rerumputan berembun tangis. Hukum tidak boleh dibicarakan. Mereka percaya, siapa yang membahas hukum ini, kutukan akan datang pada keturunan mereka. Suram yang makin kelabu. Di pengasingan itu, Gde Botol tidak bisa bermain lagi. Aku ingat perut buncitnya yang selalu lapar ketika menghirup aroma makanan. Kini, Gde Botol tinggal di pengasingan dengan makanan seadanya. Ia akan ditangkap apabila keluar. Aku tak mampu lagi membayangkan kesedihan di balik tembok-tembok yang terus membisu. Kembar buncing itu, bagaimana nasibnya? Belum lagi keluarga Gde harus membayar denda yang jumlahnya tak sedikit. Kemelaratan ini melibas keluarga tak berdaya. Setelah hukum kesepekang itu, tak kudengar lagi kabar Gde Botol juga kembar buncing.

Desir angin yang berbisik di celah bambu memutar kembali memoriku. Aku kembali ke desa ini untuk sebuah tujuan. Menyergap diam yang terpendam. Di rumah ini, aku akan menemukan jawaban; bukan pilu, itu harapku. Kuperhatikan lagi detail bangunan tua ini. Seolah tumbuh, seperti umurku yang menahun kian usang. Ada rumbai menggelayut di depan pintu. Memberiku aba-aba, mempersilakan masuk tanpa harus menunggu jawaban sang pemilik rumah.

Terus melangkah pada malam yang retak; sambil sesekali menoleh. Mungkin aku menemukan orang di dalam rumah tua ini. Aku telah hafal betul lika-liku rumah ini; rumah singgah adalah rumahku selama 10 tahun. Kakiku membentur sesuatu. Ya…sebuah kursi panjang di depan kamar Ibu Mutia, tempat aku dan 5 kawan kecilku mengintip lelaki yang sering mampir, membawa banyak makanan untuk kami.

"Hey, bocah pingitan, hentikan tingkah tidak sopan kalian. Kecil-kecil suka ngintip, kudoakan mata kalian bisulan."

Tiada henti Bu Mutia mengatai kami, hujan amarah akan terlontar jika kami masih berniat memuaskan rasa ingin tahu kami.

Bu Mutia, salah satu pengasuh kami. Kala itu, umurnya 26 tahun, masih cantik dan segar. Meski pemarah, perihnya tak mendarah daging. Dalam celah hatinya, aku tahu ia ingin menjadi Ibu yang baik untuk kami. Buih kekerasan merona pekat di hidup Bu Mutia. Perkawinannya kandas lantaran tidak mampu memberi keturunan. Luka itu tak dibiarkannya terkulai lagi. Phobia yang berhasil ia lalui, membuatnya seperti ini. Kering rasa.

Tubuh Bu Mutia sangat anggun. Lekuknya tertata dengan indah, seolah belum terjamah. Ia adalah penari joged primadona di desa Nagasari ini. Meski bukan warga asli; Bu Mutia seolah tercipta begitu lentur untuk menari. Itulah cerita lelaki yang selalu datang ke rumah singgah kami dan merayu Bu Mutia. Lelaki tak bernama itu sering kulihat meratapi senja di celah jendela kamar Bu Mutia. Seolah mengusir sepinya. Aku tak paham hubungan Bu Mutia dengan lelaki itu. Lelaki itu termenung, menatap lekat air mata Bu Mutia, saat kami mengintip mereka yang tengah berdua. Mereka berpeluk, seperti menyepakati sesuatu. Lalu meninggalkan Bu Mutia yang tengah mengusap air matanya. Lalu lelaki itu menghampiri kami.

"Tak bisakah kalian berhenti mengintip, kalian sebenarnya tengah mencuri jika melakukan ini."

Kata-kata itu membuat kami berlalu. Namun, Luh Gina, kawanku satu-satunya perempuan, menghentikan laju lelaki tak bernama itu.

"Tuan, apakah kau suami Bu Mutia?" "Anak manis, aku hanya lelaki singgah, sama seperti rumah singgah ini di hidup Bu Mutia. Tapi aku tahu banyak tentang hidup Ibu asuh kalian itu." "Aku tidak mengerti tuan, ceritakanlah apa yang tuan tahu. Kami menyayangi Bu Mutia, kami juga ingin menghapus air matanya, sama seperti yang tuan lakukan. Tapi kami tak mampu."

Lelaki nan gagah itu mirip sosok seorang Ayah yang kudamba. Ia memeluk kami sambil memberi camilan kecil. Lalu duduk di kursi panjang tempat kami mengintip. Aku menatapnya erat. Garis halus di keningnya ingin ku sentuh dan memeluknya balik. Suasana ini yang sering aku impikan. Bersenda gurau bersama sosok yang disebut Ayah. Pun aku melihat mata sayu kawanku memandangi lelaki tak bernama ini bertutur. Mungkin rasaku sama dengan 5 Kawan kecilku itu. Kami menginginkan sebuah keluarga, lengkap dengan manusia yang bernama Ayah, Ibu, juga anak-anak.

Lewat desahan nafas, lelaki itu menggulirkan kalimat yang penting, "Bu Mutia telah kehilangan rahimnya sejak jadi penari joged."

Kalimat itu membuat kami mematung; mendengarkan dengan saksama. Lena disihir pujian, Bu Mutia bukan hanya menggunakan tubuhnya untuk menari. Ia menjalang lewat tarian. Masa lalunya yang kelam. Senyumpun rasanya pahit. Berlebih ketika Bu Mutia memutuskan untuk mengangkat rahimnya, agar tidak beranak pinak. Dan ia bebas mengundang lelaki belang menelanjangi tubuhnya. Karma itu telah tumbuh, kini tangis Bu Mutia mengeram, merindukan memangkul buah hati. Karma itu membedah kembali lukanya.

Lidahku kelu. Aku tak mengerti secara utuh. Namun, Lelaki itu bersedia mengeja kata yang lebih sederhana untuk kami pahami. Bu Mutia menelanjangi jiwanya, merelakan luka itu kembali dibedah hanya untuk menutupi kebutuhan kami. Pria dengan dasi warna-warni, menghampiri malam-malam Bu Mutia itu, ternyata membayar makanan, pakaian, serta keperluan kami.

Risauku berlagu. Apa aku begitu jahat pada Bu Mutia? Memenuhi seluruh otakku dengan pikiran-pikiran busuk terhadap sang dewi? Aku, dan 5 kawanku bukan anak kandung Bu Mutia, bukan pula siapa-siapa. Lalu, mengapa ia begitu baik? Dan mengapa ia memilih untuk tinggal bersama bocah yang tak karuan asala usulnya seperti aku dan 5 kawanku yang lainnya. Memandangi hujan di beranda rumah singgah ini, kami berbincang tentang mimpi dan Bu Mutia.

Setiap liku rumah ini penuh kenangan. Tak kusudahi membasuh diri dengan kenangan itu. Kenangan yang membuatku menemukan warna. Kepedihan ini terasa beranak pinak. Senandung Ibu yang kurindu sejak kecil tak bertandang. Dekapan Ibu yang menurut cerita orang, sangat hangat tak pernah membelaiku. Jiwaku penuh sumpah serapah. Hina dalam didih yang perih. Beginilah nasib anak-anak di pesinggahan. Di luar, mereka mencaci kami sebagai anak hina;hasil hubungan gelap, sehingga kami tidak bertuan. Ucapan itu ada benarnya, tapi tidak sepenuhnya benar. Aku mempunyai Ibu, Bu Mutia. Pun Tuan tak bernama aku sebut Ayah.

Di antara kami, Gde Botol paling beruntung. Ia punya keluarga dan cinta. Menggores kanvas indah di hidupnya dengan cerita indah sebuah keluarga. Namun, kepedihan kembali berlagu untuk kami. Bagaimana kawanku itu harus menyerah pada hukum alam. Bu Mutia saat itu kehilangan satu anaknya. Ia selalu menyembunyikannya dihadapan kami dengan pura-pura marah. Lalu memeluk kami. Seraya berucap.

"Nak, hanya kalian mampu mengubah hidup kalian. Ibu tidak ingin nasib kalian seperti Gde Botol atau Ibu."

Sayup kata terakhir itu terus berdendang bersama mimpiku.

Memendam luka teramat perih membuatku takut bermimpi. Namun luka itu pula menjelma jadi hasrat. Hasrat untuk melawan getir kepedihan. Air mata adalah kebodohan. Ketika kini, aku kembali membawa mimpi itu untuk Ibunda Mutia dan 4 kawanku yang tersisa. Bu Mutia berharap padaku untuk melakukan perubahan. Aku disekolahkannya setinggi mungkin. Kini aku pulang dengan gelar sarjanaku. Kadek Ayu Kartika Priyatna, S.Pd, aku telah jadi guru di sebuah sekolah ternama. Mengajar adalah hidupku, seperti Bu Mutia. Ternyata indah, membuat mahluk lain memahami arti sebuah hidup.

Aku kembali mengurai ar mata. Rahasia kesedihan kembali bergema. Aku terlambat. Bu Mutia, kawanku, rumah singgah, dan kenangan itu telah terkubur. Rumah ini telah disita. Pun penghuninya tidak terjamah lagi. Entah kemana. Serpihan itu luluh lantah…tetap bisu, seperti desa yang telah mati ini. Desa dengan senja pilu..

Hidang Maulid, Yang Hilang Kala Perang

Bulan Rabiul Awal selalu istimewa bagi masyarakat Aceh. Sepanjang bulan ini, perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW digelar. Warga antarkampung saling kunjung. Di meunasah dan masjid mereka berkumpul, berpesta, dan bersilaturahmi dalam acara hidang maulid. Kebersamaan yang meriah. Sebuah kebersamaan di bulan istimewa yang sempat menghilang di kala perang.

Pagi di akhir pekan ini, Jafar (40), tampak sibuk meracik bumbu di sebuah tenda sederhana di sebelah masjid. " Kalau dagingnya sudah empuk, baru bumbu ini dimasukkan," kata dia.

Jafar bersama 14 warga sekitar masjid Baitussolihin, Desa Ulee Kareng, Kecamatan Ulee Kareng, Banda Aceh, memasak kari sapi. Kari inilah yang akan jadi menu utama kenduri bersama warga se-Kecamatan Ulee Kareng dalam acara Hidang Maulid di halaman masjid Baitussolihin hari itu.

Tiga ekor sapi dewasa sudah selesai dipotong-potong menjadi serpihan kecil daging. Delapan wajan besar pun disiapkan. Sebanyak 15 juru masak, yang semuanya pria dengan terampil memasukkan bumbu ke dalam rebusan daging di wajan. "Sudah jadi tradisi, dalam acara hidang maulid yang memasak bapak-bapak. Biar nanti ibu-ibu yang menikmatinya," ujar Jafar sambil tertawa.

Tak jauh dari tenda memasak itu, persisnya di halaman masjid, ratusan orang dari berbagai desa dan instansi, sibuk menyiapkan hidang, wadah-wadah nasi yang dihias aneka warna. Sembari menunggu juru masak selesai memasak kari, ratusan orang itu lalu berpawai keliling kampung. Suara rebana, rapai, dan serunai kalee (alat musik tiup khas Aceh) yang dimainkan pemuda dan pemudi, meningkahi pawai maulid itu.

Di antara peserta pawai tampak sejumlah anggota TNI dan kepolisian. Mereka tak sedang mengamankan, tapi juga turut sebagai peserta pawai. Tak lupa, mereka pun membawa idang nasi yang sudah dihias.

Usai pawai, mereka kembali ke halaman masjid. Setelah jeda salat Dhuhur, ribuan orang dari berbagai kampung berdatangan. Mereka membawa berbakul-bakul nasi yang dibungkus daun maupun kertas. " Ini untuk hidang bersama," ujar Aminah (35), warga Ulee Kareng.

Setelah itu, ribuan warga dari berbagai desa itu pun bersilaturahim. Mereka saling bersalaman sambil menyanyikan tembang salawat nabi. Hingga akhirnya, acara santap bersama pun dimulai dan menjadi penutup acara tersebut.

"Ini untuk merayakan maulid nabi. Tapi lebih dari itu juga di acara ini menjadi tempat silaturahim dan menjalin kebersamaan warga di kecamatan ini sehingga makin bersatu," kata Jamal Yunus, ketua panitia Hidang Maulid.

Hidang Maulid sudah menjadi tradisi lama masyarakat Aceh. Sejak Islam masuk ke wilayah ini, tradisi ini muncul. Di hampir semua kabupaten dan kota di Aceh, kegiatan ini ada, terutama di desa-desa.

Bagi masyarakat Aceh, perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW tak hanya tepat tanggal 12 Rabiul Awal. Namun, sebulan penuh warga dapat menggelar hidang maulid. Terkadang, tiga bulan sesesuah 12 Rabiul Awal pun masih ada kampung yang menggelar. Hal ini karena tiap kampun atau desa menggelar bergiliran.

"Tiap kampung menggelar ini. Biasanya, kami selalu mengundang warga kampung lain untuk datang menikmati hida ngan yang disediakan tiap warga kami. Kami berkumpul di meunasah. Setelah tahlil, lalu menikmati kesenian tradisional, terus makan bersama. Ratusan sampai ribuan orang berkumpul. Ini seperti hari raya bagi kami," ujar Hamzah (40), warga Ulee Kareng.

Namun, sesungguhnya, kebersamaan yang meriah dalam perayaan maulid ini baru kembali terasa 4-5 tahun terakhir, khususnya setelah tsunami. Sepanjang tahun 1980-awal 2000, kemeriahan maulid nyaris tenggelam ditelan ketakutan warga yang tercekam konflik antara TNI/Polri melawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

"Jangankan merayakan maulid, mau ke pasar aja kami takut. Apalagi kumpul-kumpul orang segini banyak," tutur Hendra Saputra (30), warga Kecamatan Idie Rayeuk, Aceh Timur.

Masa status daerah operasi militer (DOM) dan darurat militer adalah masa yang paling traumatis bagi warga Aceh saat ini, terutama di desa-desa.

"Kala itu, nyaris tak mungkin menggelar perayaan besar. Sebagian besar pemuda desa memilih merantau. Di kampung-kampung tinggal perempuan dan pria-pria lanjut usia. Kami waktu itu takut dituduh macam-macam," kata Hendra.

Namun, perihnya bencana tsunami menjadi berkah. Sejak saat itu, konflik mereda. Setelah perjanjian Helsinki dan lahirnya Aceh yang otonom, masa damai pun teretas. Sesuatu yang sangat disyukuri warga Aceh. Ini sekaligus pelajaran bagi keindonesiaan kita; saban ekspresi ketidakpuasan daerah tidaklah harus dihadapi dengan bedil.

"Kini, kami semua damai. TNI/Polri dan masyarakat bisa kumpul bersama di hidang maulid. Sesuatu yang dulu tak mungkin terjadi," tandas Hendra.

Maulid dan Jihad Reformasi

Maulid dan Jihad Reformasi
Oleh: Ali Mahmudi Ch *)

Lantunan pujian shalawat mengalun merdu disetiap sudut-sudut perkampungan. Malam-malam Rabi’ul awal terlantun syair puji-pujian. Dunia bagaikan lautan shalawat bergelombang menggemuruh seluruh penjuru. Semarak shalawat menggema dimana-mana meramaikan persada. Rerumputan bergoyang-goyang diterpa angin shalawat atas Muhammad yang agung nan mulia. Seluruh makhluk dijagat raya menyaksikan ruh Muhammad diantara kerumunan orang-orang shaleh.
Inilah tradisi yang tiada henti. Turun-temurun dari masa ke masa selanjutnya. Mengintip sejarah, bahwa maulid pertama diperingati pada masa Sultan Salahuddin Yusuf al Ayyubi (1174-1193M). Ia berasal dari suku Kurdi dengan pusat kesultanannya berada di Qahirah, Mesir. Daerah kekuasaannya membentang dari Mesir sampai Suriah dan Semenanjung Arab. Pada masa itu, Islam sedang mengalami serangan bertubi-tubi dari bangsa Eropa. Perang ini kemudian dikenal dengan Perang Salib (The Crusade).
Tahun 1099, Eropa merebut Yerusalem. Kemudian mereka mengubah Masjid Al-Aqsha menjadi gereja. Saat itu umat sedang kritis semangat perjuangan dan persaudaraan. Sebab, secara politis mereka terbelah dalam banyak kerajaan dan kesultanan. Meski semestinya khalifah tetap dipegang oleh Bani Abbas di Bagdad. Berawal dari situasi inilah yang kemudian melahirkan jihad reformasi di tubuh Salahuddin al-Ayyubi.
Salahuddin al-Ayyubi berupaya mempertebal semangat kecintaan umat kepada Nabi Muhammad. Dia mengimbau bagi umat Islam di seluruh dunia agar memperingati hari lahir Nabi Muhammad. Ini bertujuan untuk meningkatkan semangat juang kaum reformis muslim. Peringatan maulid diperintahkan guna mengimbangi maraknya peringatan Natal umat Nasrani.
Awalnya, ide ini banyak ditentang oleh para ulama. Sebab, sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Tetapi disini Salahuddin menegaskan, bahwa perayaan maulid nabi merupakan kegiatan guna menyemarakkan syiar agama. Ini berarti bahwa maulid bukan merupakan perayaan bersifat ritual ibadah. Sehingga kegiatan ini tidak dapat dikategorikan sebagai bid’ah.
Salah satu kegiatan maulid nabi pertama kali, ialah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian baginya dengan bahasa seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang juara pertama diraih oleh Syaikh Ja’far Al-Barzanji. Karyanya sangat terkenal, yakni Kitab Barzanji. Al-Barzanji ini marak dibaca pada peringatan maulid nabi ataupun setiap malam jum’at. Tradisi ini dalam istilah Jawa dikenal dengan nama Berjanjenan.
Spirit Reformasi
Pasca runtuhnya Orde Baru, angin reformasi berhembus sangat kencang. Namun sayang, reformasi birokrasi tetap jalan ditempat. Dalam era reformasi ini, kondisi manajemen birokrasi semakin terpuruk. Ini ditandai dengan adanya penyerahan kewenangan manajemen kepegawaian kepada pembina kepegawaian daerah. Sementara pembina kepegawaian daerah merupakan orang-orang pejabat politik yang menghendaki dukungan politik.
Maka tak dapat dielakkan lagi kalau terjadi kultur mutasi dan promosi jabatan secara missal. Uniknya, bahkan hampir menjurus pada bagian daerah otonom. Baik di tingkat pemerintah daerah, provinsi, hingga kabupaten. Mutasi jabatan birokrasi dilakukan oleh pejabat politik yang hendak mengatur birokrasi. Ini bertujuan untuk memuluskan langkah guna mencapai jabatan kedua atau klien penggantinya.
Pada masa Orba, penentuan karier pejabat birokrasi diatur secara kelembagaan dari pusat. Faktanya, sebagai penganut party state bureaucratic, penentuan jabatan birokrasi masih harus di bawah organisasi partai. Disinilah birokrasi menjadi unsur penting dalam organisasi partai. Organisasi partai bisa mengalihfungsikan birokrasi menjadi ajang promosi partai dan jabatan. Sebab, pejabat birokrasi dikuasai oleh partai politik tertentu.
Untuk itu, kita perlu mendongakkan kepala untuk melihat sejarah. Disinilah pentingnya peringatan maulid bagi pemerintahan birokrasi. Spirit reformasi telah tumbuh di jantung peradaban maulid Nabi. Seperti telah digagas Shalahuddin al-Ayyubi, bahwa maulid dimaksudkan untuk menggugah semangat jihad reformasi pada saat itu. Meskipun maulid terkesan kultur keagamaan, namun ruhnya jauh memiliki makna yang luas.
Maka, sudah saatnya Indonesia mereformasi birokrasi secara total. Artinya, reformasi birokrasi tidak hanya dalam ranah parsial per departemen atau unit kerja saja. Namun harus direformasi secara total. Berdasarkan hasil survei dari The Political and Economics Risk Consultancy (PERC), 9 April 2009, bahwa Indonesia merupakan Negara dengan pelayanan publik terburuk setelah india. Selain menyandang prestasi itu, Indonesia juga mendapat skor predikat Negara terkorup se-Asia.
Secara umum, demokrasi yang diraih rakyat Indonesia pascareformasi memang sedikit menggembirakan. Ini terbukti dengan adanya kebebasan berpendapat, kebebasan pers, serta berbagai upaya transparansi tata kelola pemerintahan. Kondisi ini akan semakin baik apabila ditunjang dengan reformasi birokrasi. Tentunya upaya ini harus dilaksanakan secara professional dan proporsional.
Penyimpangan-penyimpangan yang kerap dilakukan oleh pejabat birokrasi kemungkinan bisa diminimalisir dengan adanya pembatasan dan kriteria rekrutmen yang jelas. Sekaligus disertai dengan menempatkan birokrasi dalam jabatan karier pemerintahan. Dengan ini diharapkan pejabat eksekutif maupun legislatif jauh dari jangkauan kinerja birokrasi. Maka, pejabat birokrasi tidak akan merasa tertekan bila berhadapan dengan pemimpinnya yang berasal dari jalur politik.
Sebab, selain terprioritaskan pada aspek profesionalitas, juga terdapat Undang-undang yang melindungi pejabat birokrasi dalam menjalankan kariernya. Akhir-akhir ini, pengawasan terhadap manajemen birokrasi semakin kabur. Untuk itu, dalam rangka mengikis budaya paternalistik, harus segera mungkin memprioritaskan profesionalisme dengan pendekatan meritokrasi birokrasi.
Pendekatan ini dalam rangka memaksimalkan fungsi dasar lembaga birokrasi. Profesionalisme dan meryt system tidak akan tercapai apabila semangat netralitas birokrasi tidak segera ditekankan dalam peraturan perundang-undangan. Sebab, tanpa netralitas birokrasi terhadap politik, maka akan sulit mencapai profesionalitas birokrasi sesuai tujuan bangsa yang demokratis.

*Penulis: Peneliti pada Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta (LKKY).

HAKIKAT HAN UNTUK RI

HAKIKAT HUKUM ADMINISTRASI NEGARA UNTUK REPUBLIK INDONESIA Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Hukum Administrasi Negara Pengampu: Ibu Nurainun Mangunsong, S.H., M. Hum. Penyusun: Ali Mahmudi NIM: 09340023 Prodi/Jurusan: Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta 2010 BAB: I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu Negara yang menganut system Negara hukum. Maka, berbagai persoalan yang timbul dan terjadi di Indonesia akan secara langsung ditangani oleh lembaga hukum dan orang-orang yang berwenang terhadap hukum. Secara historis, konsep Negara hukum tumbuh dan berkembang dalam lintas sejarah yang beragam. Dalam hal ini, perkembangan dan pertumbuhan Negara hukum sangat dipengaruhi dengan adanya geopolitik, ideology, social budaya dan perkembangan demokrasi kenegaraan suatu Negara. Dewasa ini Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memang telah banyak dirundung berbagai problem kenegaraan. Baik problem akibat bencana alam maupun tindakan-tindakan melanggar hukum. Yang menjadi sasarannya, yakni berada dalam system ketatanegaraan, politik, social dan budaya. Selain adanya tindak criminal yang mengganggu ketertiban dan keamanan public, Negara juga dipusingkan dengan adanya berbagai fenomena pelanggaran hukum yang tak hanya dilakukan oleh orang-orang atau lembaga yang tak bertanggungjawab. Melainkan juga para pejabat-pejabat birokrasi yang berada dalam tatanan struktur pemerintahan. Kenapa hal ini bisa terjadi?? Mungkin pertanyaan inilah yang pertama kali muncul dalam benak kita. Untuk itu, marilah kita bersama-sama menganalisa mengenai berbagai macam system pemerintahan kita. Ketika kita telah menelusuri dan mengamati dengan seksama, maka muncullah berbagai fenomena kasus penyimpangan yang terjadi di negeri ini. Untuk itu, perlu kiranya pemerintah untuk terjun secara tidak langsung mengawasi dan memantau pelaksanaan Undang-undang yang sebelumnya telah disepakati bersama. Berangkat dari sini, maka perlu kiranya kita membenahi dan mengupas tuntas mengenai perjalanan dan perkembangan Hukum Administrasi Negara (HAN). Dengan adanya pembahasan ini harapannya agar kita mampu menemukan makna dan hakikat Hukum Administrasi Negara (HAN) itu sendiri. Hingga pembahasan selanjutnya kita akan menemukan jawaban mengenai apa maksud dan hakikat Hukum Administrasi Negara (HAN) bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). B. Abstraksi Gagasan tentang penyelenggaraan kekuasaan yang baik, ketika dipandang dari perspektif kaca mata historis, terdapat dua pendekatan; personal dan sistem. Gagasan ini, secara personal telah dimulai pada masa Plato. Menurutnya, penyelenggaraan kekuasaan yang ideal dilakukan secara paternalistik. Yang berarti para penguasa yang bijaksana haruslah menempatkan diri selaku ayah yang baik lagi arif. Yang nantinya, dalam me-manage tindakan terhadap anak-anaknya terpadulah kasih dan ketegasan demi kebahagiaan anak-anak itu sendiri. Di sisi lain, Plato mengusulkan, negara agar menjadi baik harus dipimpin oleh seorang filosof. Karena, filosof adalah manusia yang arif bijaksana, menghargai kesusilaan, dan berpengetahuan tinggi. Murid Plato, Aristoteles, berpendapat bahwa pemegang kekuasaan haruslah orang yang takluk pada hukum. Yakni, harus senantiasa diwarnai oleh penghargaan dan penghormatan terhadap kebebasan, kedewasaan dan kesamaan derajat. Hanya saja, tidak mudah mencari pemimpin dengan kualitas pribadi yang sempurna. Oleh karena itu, pendekatan sistem merupakan alternatif yang paling memungkinkan. Plato sendiri, di usia tuanya terpaksa merubah gagasannya yang semula mengidealkan pemerintah itu dijalankan oleh raja-filosof menjadi pemerintahan yang dikendalikan oleh hukum. Penyelenggaraan negara yang baik, menurut Plato, ialah yang didasarkan pada pengaturan hukum yang baik. Berdasarkan pendapat Plato ini, maka penyelenggaraan pemerintahan yang didasarkan pada hukum merupakan salah satu alternatif yang baik dalam penyelenggaraan negara. HAN dapat dijadikan instrumen untuk terselenggaranya pemerintahan yang baik. Penyelenggaraan pemerintahan lebih nyata dalam Hukum Administrasi Negara. (HAN). Karena di sini akan terlihat konkrit hubungan antara pemerintah dengan masyarakat. Kualitas hubungan pemerintah dengan masyarakat inilah yang setidaknya dapat dijadikan ukuran apakah penyelenggaraan pemerintahan sudah baik atau belum. Di satu sisi, HAN dapat dijadikan instrumen yuridis oleh pemerintah dalam rangka melakukan pengaturan, pelayanan, dan perlindungan bagi masyarakat, di sisi lain HAN memuat aturan normatif tentang bagaimana pemerintahan dijalankan, atau sebagaimana dikatakan Sjachran Basah, bahwa salah satu inti hakikat HAN adalah untuk memungkinkan administrasi negara untuk menjalankan fungsinya, dan melindungi administrasi negara dari melakukan perbuatan yang salah menurut hukum. C. Tujuan Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Hukum Administrasi Negara (HAN) yang diampu langsung oleh beliau Ibu Nurainun Mangunsong, S.H., M.Hum. D. Manfaat Dengan adanya penulisan makalah ini diharapkan supaya mahasiswa hukum, khususnya mahasiswa hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, mampu mengetahui secara lebih jelas dan gamblang mengenai hakikat adanya Hukum Administrasi Negara (HAN) untuk pemerintahan Republik Indonesia (RI), Negara yang tercinta kita ini. E. Rumusan Masalah Berdasarkan tujuan dan manfaat mengenai penulisan makalah di atas, penyusun membuat rumusan masalah yang akan di bahas secara mendetail dalam pembahasan lebih lanjut dengan pokok permasalahan yang berkaitan dengan Hukum Administrasi Negara (HAN). Untuk itu, penyusun merumuskan dengan skema rumusan sebagai berikut: 1. Bagaimana sejarah dan perkemabangan Hukum Administrasi Negara (HAN) di Indonesia dewasa ini? 2. Apa saja yang menjadi ruang lingkup pembahasan Hukum Administrasi Negara (HAN), khususnya di Indonesia? 3. Apa hakikat Hukum Administrasi Negara (HAN) bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia? 4. Bagaimana mekanisme penerapan Hukum Administrasi Negara (HAN) di Indonesia? F. Sistematika Penulisan Makalah ini ditulis dengan sistematika sebagai berikut: BAB: I Pendahuluan; a. Latar Belakang b. Diskripsi Masalah c. Tujuan d. Manfaat e. Sistematika Penulisan BAB: II Hakikat Hukum Administrasi Negara untuk Republik Indonesia a. Sejarah dan Perkembangan Hukum Administrasi Negara b. Ruang Lingkup Hukum Administrasi Negara c. Hakikat Hukum Administrasi Negara Untuk Indonesia d. Penerapan Hukum Administrasi Negara di Indonesia BAB: III Penutup a. Kesimpulan b. Saran Daftar Pustaka BAB: II HAKEKAT HUKUM ADMINISTRASI NEGARA BAGI NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA A. Sejarah dan Perkembangan Hukum Administrasi Negara Hukum Administrasi Negara disebut juga dengan istilah Staats Administratief Recht. Secara etimologis, hukum administrasi Negara berasal dari kata dalam bahasa latin Administrare yang berarti: mengatur (to manage). Atau berasal dari kata Administratio yang berarti: pemerintah. Hukum Administrasi Negara adalah seperangkat peraturan yang memungkinkan administrasi Negara menjalankan fungsinya, yang sekaligus juga melindungi warga terhadap sikap tindak administrasi , dan melindungi administrasi Negara itu sendiri. Hukum Administrasi Negara (HAN) sebagai penguji hubungan hukum istimewa, yang diadakan guna memungkinkan para pejabat administrasi Negara melakukan tugas khusus mereka. Berdasarkan beberapa definisi tersebut dalam hukum administrasi Negara terkandung dua aspek, yaitu pertama aturan-aturan hukum yang mengatur dengan cara bagaimana alat-alat perlengkapan Negara itu melakukan tugasnya.; kedua, aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara alat perlengkapan administrasi Negara atau Pemerintah dengan para warga negaranya. Dapatlah disebutkan bahwa hukum administrasi adalah hukum yang berkenaan dengan pemerintahan dalam arti sempit. Secara garis besar mengatur hal-hal antara lain : a. perbuatan pemerintah (pusat dan daerah) dalam bidang publik, b.kewenangan pemerintah (dalam melakukan perbuatan dibidang public tersebut), didalamnya diatur mengenai dari mana, dengan cara apa, dan bagaimana pemerintah menggunakan kewenangannya;penggunaan kewenangan ini dituangkan dalam bentuk instrument hukum sehingga diatur pula tentang pembuatan dan penggunaan instrument hukum, c. Akibat-akibat hukum yang lahir dari perbuatan atas penggunaan kewenangan pemerintah itu. d. penegakan hukun dan penerapan sanki-sanki dalam bidang pemerintahan. Sehubungan dengan adanya hukum administrasi tertulis, yang tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan,dan hukum administrasi tidak tertulis,yang lazim disebut asas-asas umum pemerintahan yang layak keberadaan dan sasaran dari hukum administrasi adalah sekumpulan peraturan hukum yang mengatur tentang tugas dan kewenangan pemerintahan dalam berbagai dimensinya sehingga tercipta penyelenggaraan pemerintahan dan kemasyarakatan yang baik dalam suatu Negara hukum. Dengan demikian, keberadaan hukum administrasi Negara dalam suatu Negara hukum merupakan conditio sine cuanon. Administrasi Negara mempunyai konsekuensi tertentu dalam bidang legislasi. Dengan bersandar pada freies Ermessen, administrasi Negara memiliki kewenangan yang luas untuk melakukan berbagai hukum dalam rangka melayani kepentingan masyarakat atau mewujudkan kesejahteraan umum, dan untuk melakukan itu diperlukan instrumen hukum. Artinya, bersamaan dengan pemberian kewenangan yang luas untuk bertindak diberikan pula kewenangan untuk membuat instrumen hukumnya. Menurut E.Utrecht, kekuasaan administrasi Negara dalam bidang legislasi ini meliputi ; pertama kewenangan untuk membuat peraturan atas inisiatif sendiri, terutama dalam menghadapi soal-soal genting yang belum ada peraturannya, tanpa bergantung pada pembuat undang-undang pusat. Kedua, kekuasaan administrasi Negara untuk membuat peraturan atas dasar delegasi. Karena pembuat undang-undang hanya dapat menyelesaikan soal-soal yang bersangkutan dalam garis besarnya saja dan tidak dapat menyelesaikan tiap detail pergaulan sehari-hari, pemerintah diberi tugas dengan keadaan yang sungguh-sungguh terjadi dimasyarakat, ketiga, droit function, yaitu kekuasaan administrasi Negara untuk menafsirkan sendiri berbagai peraturan, yang berarti administrasi Negara berwenang mengoreksi (corigeren) hasil pekerjaan pembuat undang-undang. Penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah berkaitan pula dengan bentuk Negara tertentu. Dalam Negara yang berbentuk kesatuan, ada dua kemungkinan penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan, yaitu sentralisasi atau desentralisasi. Penyelenggaraan pemerintahan secara berarti seluruh bidang-bidang pemerintahan diselenggarakan oleh pemerintah pusat, sedangkan dengan desentralisasi berarti penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan tidak hanya dijalankan oleh pemerintah pusat, tetapi juga oleh satuan pemerntahan daerah, yang umumnya bertumpu pada prinsip otonomi, yaitu “vrijhaid en zelfstandigheid “ kebebasan dan kemandirian daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangga daerah (huishouding). B. Ruang Lingkup Hukum Administrasi Negara Di negeri Belanda ada dua istilah mengenai hukum ini yaitu bestuurrecht dan administratief recht, dengan kata dasar ‘administratie’ dan ‘bastuur’.terhadap dua istilah ini para sarjana Indonesia berbeda pendapat dalam menerjemahkannya. Administrase ini ada yang menerjemahkan dengan tata usaha, tata usaha pemerintahan, tata pemerintahan, tata usaha Negara, dan ada yang menerjemahkan dengan administrasi saja. sedangkan bastuur diterjemahkan secara seragam dengan pemerintahan. Perbedaan penerjemahan tersebut mengakibatkan perbedaan penamaan terhadap hukum ini, yakni seperti HAN, Hukum Tata Pemerintahan, Hukum Tata usaha Pemerintahan, Hukum Tata Usaha Negara, Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, HAN Indonesia, dan Hukum administrasi, tanpa atribut Negara. Hal ini sebagaimana yang dianut Hadjon, dengan alasan bahwa pada kata administrasi itu sudah mengandung konotasi Negara/ pemerintahan. Sebenarnya kedua kata ini dalam penggungaanya memiliki makna sama, karena pemerintah itu sendiri merupakan terjemahan dari kata administrasi. Meski demikian, saya akan mengemukakan secara terpisah mengenai istilah administrasi Negara dan istilah pemerintah/pemerintahan berdasarkan kamus dan yang berkembang dikalangan para sarjana. Administrasi merujuk pada pengertian yang ketiga, yakni kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan. Prajudi Atmosudirdjo mengemukakan bahwa administrasi Negara mempunyai tiga arti, yaitu; 1. Sebagai salah satu fungsi pemerintah; 2. Sebagai aparatur dan aparat dari pada pemerintah; 3. Sebagai proses pemerintah yang memerlukan kerja sama tertentu. Menurut Bintoro Tjokroamidjojo, administrasi Negara adalah manajemen dan organisasi dari manusia-manusia dan peralatannya guna mencapai tujuan-tujuan pemerintah. Sondang P. Siagian mengartikan administrasi Negara sebagai “keseluruhan kegiatan yang dilakukan oleh seluruh aparatur pemerintah dari satu Negara dalam usaha mencapai tujuan Negara. E.Utrecht menyebutkan bahwa administrasi Negara adalah gabungan jabatan-jabatan, aparat administrasi yang dibawah pimpinan pemerintah melakukan sebagian dari pekerjaan pemerintah. Menurut Dimock & Dimock, administrasi Negara adalah aktivitas-aktivitas Negara dalam melaksanakan kekuasaan-kekuasaan politiknya, dalam arti sempit, aktivitas-aktivitas badan-badan eksekutif dan kehakiman atau khususnya aktivitas-aktivitas badan eksekutif saja dalam melaksanakan pemerintahan. Bahsan Mustafa mengartikan administrasi Negara sebagai gabungan jabatan-jabatan yang dibentuk dan disusun secara bertingkat dan diserahi tugas melakukan sebagian dari pekerjaan pemerintah dalam arti luas, yang tidak diserahkan kepada badan-badan pembuat undang-undang dan badan-badan kehakiman. Dari sini maka jelaslah, bahwa adminisrtasi Negara adalah Keseluruhan aparatur pemerintah yang melakukan berbagai aktivitas atau tugas-tugas Negara selain tugas pembuatan undang-undang dan pengadilan. Pemerintah sebagai alat kelengkapan Negara dapat diartikan secara luas dan dalam arti sempit. Pemerintah dalam arti luas itu mencangkup semua alat kelengkapan Negara, yang pada pokoknya terdiri dari cabang-cabang kekuasaan eksekutif,legislatif, dan yudisial atau alat-alat kelengkapan Negara lain yang bertindak untuk dan atas nama Negara, sedangkan dalam pengertian sempit pemerintah adalah cabang kekuasaan eksekutif. Pemerintah dalam arti sempit adalah organ/alat perlengkapan Negara yang diserahi tugas pemerintahan atau melaksanakan undang-undang, sedangkan dalam arti luas mencangkup semua badan yang menyelenggarakan semua kekuasaan didalam Negara baik eksekutuf maupun legislatif dan yudikatif. Dalam kepustakaan disebutkan bahwa istilah pemerintahan disebutkan memiliki dua pengertian, yaitu seabagai fungsi dan sebagai organisasi. a Pemerintah sebagai fungsi adalah: melaksanakan tugas-tugas pemerintahan, pemerintah sebagai organ adalah kumpulan organ-organ dan organisasi pemerintahan yang dibebani dengan pelaksanaan tugas pemerintahan. b. Pemerintah sebagai organisasi adalah: bila kita mempelajari ketentuan-ketentuan susunan organisasi, termasuk didalamnya fungsi, penugasan, kewenangan, kewajiban masing-masing departemen pemerintahan, badan-badan, instansi serta dinas-dinas pemerintahan. Sebagai fungsi kita meneliti ketentuan-ketentuan yang mengatur apa dan cara tindakan aparatur pemerintahan sesuai dengan kewenangan masing-masing, fungsi pemerintah itu dapat ditentukan dengan menempatkannya dalam hubungan dengan fungsi perundang-undangan dan peradilan.Pemerintah dapat dirumuskan secara negatif sebagai segala macam kegiatan perundang-undangn dan peradilan. Kalaupun hukum administrasi Negara berkenaan dengan kekuasaan eksekutif, pengertian eksekutif ini tidak sama dengan apa dengan apa yang dimaksudkan dengan konsep trias politika (yang menempatkan kekuasaan eksekutif hanya melaksanakan undang-undang). Meskipun secara umum dianut definisi negatif tentang pemerintahan, yaitu sebagai suatu aktivitas diluar perundangan dan peradilan, pada kenyataannya pemerintah juga melakukan tindakan hukum dalam bidang legislasi, misalnya dalam pembuatan undang-undang organik dan pembuatan berbagai peraturan pelaksanaan lainnya, dan juga bertindak dalam bidang penyelesaian perselisihan, misalnya dalam penyelesaian hukum melalui upaya administrasi dan dalam hal penegakan hukum administrasi atau pada penerapan sanki-sanki administrasi yang semuanya itu menjadi objek kajian hukum administrasi Negara. Oleh karena itu tidak mudah untuk menentukan ruang lingkup hukum administrasi Negara. Di samping itu kesukaran menentukan ruang lingkup hukum administrasi Negara ini disebabkan pula oleh beberapa faktor, Pertama, HAN berkaitan dengan tindakan pemerintahan yang tidak semuanya dapat ditentukan secara tertulis dalam peraturan perundang-undangan seiring dengan perkembangan kemasyarakatan yang memerlukan pelayanan pemerintah dan masing-masing masyarakat disuatu daerah atau Negara berbeda tuntutan dan kebutuhan. Kedua, pembuatan peraturan-peraturan, keputusan-keputusan dan instrument yuridis bidang administrasi lainnya tidak hanya terletak pada satu tangan atau lembaga. Ketiga, hukum administrasi Negara berkembang sejalan dengan perkembangan tugas-tugas pemerintahan dan kemasyarakatan, yang menyebabkan pertumbuhan bidang hukum administrasi Negara tertentu berjalan secara sektoral. Karena faktor-faktor inilah, HAN tidak dapat dikodifikasi, seperti dalam hukum perdata dan hukum pidana yang dapat dikumpulkan menjadi satu kitab undang-undang. Prajudi Atmosudirdjo membagi HAN dalam dua bagian, yaitu HAN heteronom dan HAN otonom. HAN heteronom yang bersumber pada UUD,TAP MPR, dan UU merupakan hukum-hukum yang mengatur seluk-beluk organisasi dan fungsi administrasi Negara. HAN otonom adalah hukum oprasional yang diciptakan pemerintah dan administrasi Negara. Dan juga ada yang menyebutkan bahwa HAN itu ada HAN umum dan ada HAN khusus. HAN yang bersifat umum berkenaan dengan peraturan-peraturan umum mengenai tindakan hukum dan hubungan hukum administrasi atau peraturan-peraturan dan prinsip-prinsip yang berlaku untuk semua bidang hukum administrasi, dalam arti tidak terikat pada bidang-bidang tertentu. Sementara itu, HAN khusus adalah peraturan-peraturan yang berkaitan dengan bidang-bidang tertentu seperti peraturan tata ruang, peraturan tentang kepegawaian, peraturan tentang pertanahan, peraturan tentang kesehatan, peraturan tentang perpajakan, peraturan bidang pendidikan, peraturan pertambangan, dan sebagainya. Adanya perbedaan bidang hukum Administrasi khusus merupakan suatu hal yang logis dan wajar mengingat masing-masing Negara dihadapkan pada perbedaan sosio kultural, politik, sistem pemerintahan, kebijakan pemerintah, dan sebagainya. Artinya, munculnya pembedaan antara hukum administrasi umum dan hukum administrasi khusus merupakan suatu yang tidak dapat dihindari atau suatu yang alamiah. Munculnya hukum administrasi ini semakin penting artinya seiring dengan lahirnya berbagai bidang tugas-tugas pemerintahan yang baru dan sejalan dengan perkembangan dan penemuan-penemuan baru berbagai bidang kehidupan ditengah masyarakat, yang harus diatur melalui hukum administrasi. Dalam konteks ini tampak bahwa hukum administrasi itu tumbuh dan berkembang secara Dinamis. Berdasarkan keterangan tersebut, tampak bahwa bidang hukum administrasi itu sangat luas sehingga tidak dapat ditentukan secara tegas ruang lingkupnya. Disamping itu khusus bagi Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi, terdapat pula hukum administrasi daerah, yaitu peraturan-peraturan yang berkenaan dengan administrasi daearah atau pemerintah daerah. Sehubungan dengan adanya hukum administrasi tertulis, yang tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan, dan hukum administrasi tidak tertulis, lazim disebut asas-asas pemerintahan yang layak. Keberadaan dan sasaran dari hukum administrasi Negara adalah sekumpulan peraturan hukum yang mengatur tentang tugas dan kewenangan pemerintahan dalam berbagai dimensinya. Sehingga tercipta penyelenggaraan pemerintahan dan kemasyarakatan yang baik dalam suatu Negara hukum. Dengan deamikian, keberadaan hukum administrasi Negara dalam suatu Negara hukum merupakan condition sine quanon. Menurut WF.Prins, batas antara hukum administrasi Negara dengan hukum tata Negara satupun tidak ada yang sama. Akan tetapi, bila diteliti, di dalam membuat batas tersebut, sadar maupun tidak, yang telah diambil sebagai dasar pikiran ialah tata Negara mengenai hal pokok. Setelah menyebutkan bahwa hukum tata Negara dan hukum administrasi Negara merupakan satu kesatuan. dan hukum administrasi Negara dianggap sebagai bagian atau tambahan dari hukum tata Negara, yang kemudian pendapat ditinggalkan karena perkembangan sejarah menempatkan hukum daministrasi Negara sebagai bidang kajian hukum sendiri. Guna mengakhiri perbedaan pendapat mengenai perbedaan antara hukum tata Negara dengan hukum administrasi Negara cukuplah disebutkan pendapat dari Bagir Manan, yang mengatakan bahwa secara keilmuan hukum yang mengatur tingkah laku Negara (alat perlengkapan Negara) dimasukan kedalam kelompok hukum tata Negara, sedangkan hukum yang mengatur pemerintahan (dalam arti administrasi Negara) masuk kedalam kelompok hukum administrasi Negara. C. Hakikat Hukum Administrasi Negara Untuk Indonesia Penentuan norma HAN dilakukan melalui berbagai tahap. Untuk dapat menemukan normanya kita harus meneliti dan melacak melalui serangkaian peraturan perundang-undangan. Artinya, peraturan hukum yang harus diterapkan tidak begitu saja kita temukan dalam undang-undang, tetapi dalam kombinasi peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan TUN yang satu dengan yang lain saling berkaitan. Pada umumnya, ketentuan undang-undang yang berkaitan dengan HAN hanya memuat norma-norma pokok atau umum. Sementara periciannya diserahkan pada peraturan pelaksanaan. Penyerahan ini dikenal dengan istilah terugtred atau sikap mundur dari pembuat undang-undang. Hal ini terjadi karena tiga sebab, yaitu : Pertama, Karena keseluruhan hukum TUN itu demikian luasnya, sehingga tidak mungkin bagi pembuat UU untuk mengatur seluruhnya dalam UU formal. Kedua, Norma-norma hukum TUN itu harus selalu disesuaikan de-ngan tiap perubahan-perubahan keadaan yang terjadi sehubungan dengan kemajuan dan perkembangan teknologi yang tidak mungkin selalu diikuti oleh pembuat UU dengan mengaturnya dalam suatu UU formal. Di samping itu, yang ketiga, tiap kali diperlukan pengaturan lebih lanjut hal itu selalu berkaitan dengan penilaian-penilaian dari segi teknis yang sangat mendetail, sehingga tidak sewajarnya harus diminta pembuat UU yang harus mengaturnya. Akan lebih cepat dilakukan dengan pengeluaran peraturan-peraturan atau keputusan-keputusan TUN yang lebih rendah tingkatannya, seperti Keppres, Peraturan Menteri, dan sebagainya. Seperti disebutkan di atas bahwa setiap tindakan pemerintah dalam negara hukum harus didasarkan pada asas legalitas. Hal ini berarti ketika pemerintah akan melakukan tindakan, terlebih dahulu mencari apakah legalitas tindakan tersebut ditemukan dalam undang-undang. Jika tidak terdapat dalam UU, pemerintah mencari dalam berbagai peraturan perundang-undangan terkait. Ketika pemerintah tidak menemukan dasar legalitas dari tindakan yang akan diambil, sementara pemerintah harus segera mengambil tindakan, maka pemerintah menggunakan kewenangan bebas yaitu dengan menggunakan freies Ermessen. Meskipun penggunaan freies Ermessen dibenarkan, akan tetapi harus dalam batas-batas tertentu. Menurut Sjachran Basah pelaksanaan freies Ermessen harus dapat dipertanggung jawabkan, secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan secara hukum berdasarkan batas-atas dan batas-bawah. Batas-atas yaitu peraturan yang tingkat derajatnya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tingkat derajatnya lebih tinggi. Sedangkan batas-bawah ialah peraturan yang dibuat atau sikap-tindak administrasi negara (baik aktif maupun pasif), tidak boleh melanggar hak dan kewajiban asasi warga. Di samping itu, pelaksanaan freies Ermessen juga harus memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Berdasarkan keterangan singkat ini dapat dikatakan bahwa fungsi normatif HAN adalah mengatur dan menentukan penyelenggaraan pemerintahan agar sesuai dengan gagasan negara hukum yang melatarbelakanginya, yakni negara hukum Pancasila. Menurut Sjachran Basah, perlindungan terhadap warga diberikan bilamana sikap tindak administrasi negara itu menimbulkan kerugian terhadapnya. Sedangkan perlindungan terhadap administrasi negara itu sendiri, dilakukan terhadap sikap tindaknya dengan baik dan benar menurut hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dengan kata lain, melindungi administrasi negara dari melakukan perbuatan yang salah menurut hukum. Di dalam negara hukum Pancasila, perlindungan hukum bagi rakyat diarahkan kepada usaha-usaha untuk mencegah terjadinya sengketa antara pemerintah dan rakyat, menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan rakyat secara musayawarah serta peradilan merupakan sarana terakhir dalam usaha menyelesaikan sengketa antara pemerintah dengan rakyat. Dengan adanya UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menurut Paulus E. Lotulung, sesungguhnya tidak semata-mata memberikan perlindungan terhadap hak-hak perseorangan, tetapi juga sekaligus melindungi hak-hak masyarakat, yang menimbulkan kewajiban-kewajiban bagi perseorangan. Hak dan kewajiban perseorangan bagi warga masyarakat harus diletakan dalam keserasian, keseimbangan, dan keselarasan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan masyarakat, sesuai dengan prinsip yang terkandung dalam falsafah negara dan bangsa kita, yaitu Pancasila. Berdasarkan pemaparan fungsi-fungsi HAN ini, dapatlah disebutkan bahwa dengan menerapkan fungsi-fungsi HAN ini akan tercipta pemerintahan yang bersih, sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum. Pemerintah menjalankan aktifitas sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau berdasarkan asas legalitas, dan ketika menggunakan freies Ermessen, pemerintah memperhatikan asas-asas umum yang berlaku sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum. Ketika pemerintah menciptakan dan menggunakan instrumen yuridis, maka dengan mengikuti ketentuan formal dan material penggunaan instrumen tersebut tidak akan menyebabkan kerugian terhadap masyarakat. Dengan demikian, jaminan perlindungan terhadap warga negarapun akan terjamin dengan baik. D. Penerapan Hukum Administrasi Negara di Indonesia Meskipun diketahui bahwa penyelenggaraan negara dilakukan oleh beberapa lembaga negara, akan tetapi aspek penting penyelenggaraan negara terletak pada aspek pemerintahan. Dalam sistem pemerintahan Indonesia, Presiden memiliki dua kedudukan, sebagai salah satu organ negara yang bertindak untuk dan atas nama negara, dan sebagai penyelenggara pemerintahan atau sebagai administrasi negara. Sebagai administrasi negara, pemerintah diberi wewenang baik berdasarkan atribusi, delegasi, ataupun mandat untuk melakukan pembangunan dalam rangka merealisir tujuan-tujuan negara yang telah ditetapkan oleh MPR. Dalam melaksanakan pembangunan, pemerintah berwenang untuk melakukan pengaturan dan memberikan pelayanan terhadap masyarakat. Agar tindakan pemerintah dalam menjalankan pembangunan dan melakukan pengaturan serta pelayanan ini berjalan dengan baik, maka harus didasarkan pada aturan hukum. Di antara hukum yang ada ialah Hukum Administrasi Negara, yang memiliki fungsi normatif, fungsi instrumental, dan fungsi jaminan. Fungsi normatif yang menyangkut penormaan kekuasaan memerintah berkaitan dengan fungsi instrumental yang menetapkan instrumen yang digunakan oleh pemerintah untuk menggunakan kekuasaan memerintah dan norma pemerintahan dan instrumen pemerintahan yang digunakan harus menjamin perlindungan hukum bagi rakyat. Ketika pemerintah akan menjalankan pemerintahan, maka kepada pemerintah diberikan kekuasaan, yang dengan kekuasaan ini pemerintah melaksanakan pembangunan, pengaturan dan pelayanan. Agar kekuasaan ini digunakan sesuai dengan tujuan diberikannya, maka diperlukan norma-norma pengatur dan pengarah. Dalam Penyelenggaraan pembangunan, pengaturan, dan pelayanan, pemerintah menggunakan berbagai instrumen yuridis. Pembuatan dan pelaksanaan instrumen yuridis ini harus didasarkan pada legalitas dengan mengikuti dan mematuhi persyaratan formal dan metarial. Dengan didasarkan pada asas legalitas dan mengikuti persyaratan, maka perlindungan bagi administrasi negara dan warga masyarakat akan terjamin. Dengan demikian, pelaksanaan fungsi-fungsi HAN adalah dengan membuat penormaan kekuasaan, mendasarkan pada asas legalitas dan persyaratan, sehingga memberikan jaminan perlindungan baik bagi administrasi negara maupun warga masyarakat. Penyelenggaraan pemerintahan tidak selalu berjalan sebagaimana yang telah ditentukan oleh aturan yang ada. Bahkan sering terjadi penyelenggaraan pemerintahan ini menimbulkan kerugian bagi rakyat baik akibat penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) maupun tindakan sewenang-wenang (willekeur). Perbuatan pemerintah yang sewenang-wenang terjadi apabila terpenuhi unsur-unsur; pertama, penguasa yang berbuat secara yuridis memeliki kewenangan untuk berbuat (ada peraturan dasarnya); kedua, dalam mempertimbangkan yang terkait dalam keputusan yang dibuat oleh pemerintah, unsur kepentingan umum kurang diperhatikan; ketiga, perbuatan tersebut menimbulkan kerugian konkret bagi pihak tertentu. Dampak lain dari penyelenggaraan pemerintahan seperti ini adalah tidak terselenggaranya pembangunan dengan baik dan tidak terlaksananya pengaturan dan pelayanan terhadap masyarakat sebagaimana mestinya. Keadaan ini menunjukan penyelenggaraan pemerintahan belum berjalan dengan baik. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan adalah antara lain dengan mengefektifkan pengawasan baik melalui pengawasan lembaga peradilan, pengawasan dari masyarakat, maupun pengawasan melalui lembaga ombusdman. Di samping itu juga dengan menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik. BAB: III PENUTUP a. Kesimpulan  Hukum Administrasi Negara adalah seperangkat peraturan yang memungkinkan administrasi Negara menjalankan fungsinya, yang sekaligus juga melindungi warga terhadap sikap tindak administrasi, dan melindungi administrasi Negara itu sendiri.  Beberapa aspek yang terkandung dalam Hukum Adiministrasi Negara (HAN), yaitu pertama aturan-aturan hukum yang mengatur dengan cara bagaimana alat-alat perlengkapan Negara itu melakukan tugasnya.; kedua, aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara alat perlengkapan administrasi Negara atau Pemerintah dengan para warga negaranya.  Diantara beberapa ruang lingkup Hukum Administarsi Negara adalah : a. Hukum tentang dasar-dasar dan prinsip-prinsip umum daripada Administrasi Negara. b. Hukum tentang organisasi dari Administrasi Negara. c. Hukum tentang aktifitas-aktifitas dari Administrasi Negara yang bersifat yuridis. d. Hukum tentang sarana-sarana dari Administrasi Negara terutama mengenai kepegawaian Negara dan keuangan Negara. e. Hukum Administrasi Pemerintahan Daerah dan wilayah yang dibagi menjadi : 1. Hukum Administrasi Kepegawaian 2. Hukum Administrasi Keuangan 3. HukumAdministrasi Materiil 4. Hukum Administrasi Perusahaan Negara f. Hukum tentang Peradilan Administrasi Negara  Fungsi normatif HAN adalah mengatur dan menentukan penyelenggaraan pemerintahan agar sesuai dengan gagasan negara hukum yang melatarbelakanginya, yakni negara hukum Pancasila.  Berdasarkan pemaparan fungsi-fungsi HAN ini, dapatlah disebutkan bahwa dengan menerapkan fungsi-fungsi HAN ini akan tercipta pemerintahan yang bersih, sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum. b. Saran Penyusun di dalam membuat dan menyusun karya tulis ini tentu saja tak lepas dari kekurangan dan kesalahan. Karena penyusun menyadari bahwasanya kebenaran hanya milik Allah semata, dan manusia merupakan tempatnya salah dan lupa. Untuk itu, demi perbaikan dan kesempurnaan karya makalah ini, penyusun sangat mengharapkan kritik dan sarannya dari pembaca yang budiman. Utamanya dari guru dosen pembimbing mata kuliah Hukum Administrasi Negara (HAN), Ibu Nurainun Mangunsong, S.H., M.Hum. Atas kritik dan sarannya saya ucapkan Jazaakumullahu khairan katsiiran ahsanal jazaa’. DAFTAR PUSTAKA • Prima Pena. 2006. Kamus Ilmiah Populer edisi lengkap. Surabaya: Gita Media Press. • Ragawino, Bewa. 2006. Hukum Administrasi Negara. Bandung: Universitas Padjadjaran. • Mustafa, Bahsan. 1984. Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara. Bandung: Alumni Press. • Utrecht, E. 1966. Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia. Jakarta: Balai Buku Ichtiar. • Muslimin, Ampah. 1980. Beberapa Azas-Azas dan Pengertian-Pengertian Administrasi dan Hukum Administrasi, Bandung: Alumni. • Ridwan, H.R. 2006. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. • Basyuni, Ahmad. 2009. Materi kuliah Hukum Administrasi Negara. Makalah tidak diterbitkan.
Revitalisasi Hukum Adat KONFLIK PENGUASAAN & PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM: IMPLIKASINYA TERHADAP MASYARAKAT ADAT1 Oleh: Abdon Nababan2, 2003 Masyarakat Adat dan Politik Eksploitasi Sumberdaya Alam Masa Rejim Orde Baru Masyarakat adat adalah salah satu kelompok utama penduduk negeri ini, baik dari jumlah populasi, yang saat diperkirakan antara 50 – 70 juta orang, maupun nilai kerugian materil dan spritual atas penerapan politik pembangunan yang selama lebih dari tiga dasawarsa terakhir. Penindasan terhadap masyarakat adat ini terjadi baik di bidang ekonomi, politik, hukum, maupun di bidang sosial dan budaya lainnya. Kondisi ini menjadi demikian ironis karena pada kenyataannya masyarakat adat merupakan elemen terbesar dalam struktur negara–bangsa (nation-state) Indonesia. Namun dalam hampir semua keputusan politik nasional, eksistensi komunitas-komunitas adat ini belum terakomodasikan, atau bahkan secara sistematis disingkirkan dari proses-proses dan agenda politik nasional. Perlakuan tidak adil ini bisa dilihat dengan sangat gamblang dari pengkategorian dan pendefinisian sepihak terhadap masyarakat adat sebagai "masyarakat terasing", "peladang berpindah", "masyarakat rentan", "masyarakat primitif' dan sebagainya, yang mengakibatkan percepatan penghancuran sistem dan pola kehidupan mereka, secara ekonomi, politik, hukum maupun secara sosial dan kultural. Para pendiri negara-bangsa (nation-state) Indonesia sejak semula sudah menyadari bahwa negara ini adalah negara kepulauan yang majemuk, baik menyangkut sistem politik dan sistem hukum masupun sistem sosial-budaya dan agama. Semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" secara filosofis menunjukkan penghormatan bangsa Indonesia atas kemajemukan atau keragaman sosial, budaya, politik dan agama. Hanya saja bangunan "negara-bangsa" yang majemuk sebagaimana digagas oleh Para Pendiri ini telah dihianati begitu saja oleh para penerusnya, yaitu dengan merampas secara sistematis hak-hak masyarakat adat yang merupakan struktur dasar "negara-bangsa" yang majemuk. Dengan berbagai kebijakan dan produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah, negara secara tidak adil dan tidak demokratis telah mengambil-alih hak asal usul, hak atas wilayah adat, hak untuk menegakkan sistem nilai, ideologi dan adat istiadat, hak ekonomi, dan yang paling utama adalah hak politik masyarakat adat. Perangkatperangkat kebijakan dan hukum diproduksi untuk memaksakan uniformitas dalam semua bidang kehidupan. Kedaulatan negara ditegakkan secara represif dengan mengabaikan kedaulatan masyarakat adat untuk mengatur dan mengembangkan kemandirian kultural dan politik di dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Denngan menyalah artikan Pasal 33 UUD 1945, maka di bidang ekonomi dikeluarkan berbagai kebijakan dan hukum yang secara sepihak menetapkan alokasi dan pengelolaan sumberdaya alam -- yang sebagian besar berada di dalam wilayah-wilayah adat -- di bawah kekuasaan dan kontrol pemerintah. Berbagai peraturan perundangan sektoral, khususnya yang dikeluarkan selama pemerintahan otoriter Orde Baru file:///F|/Data%20Kuliah/Tugas%20Makalah/makalah%20Adat.htm (1 of 11)24/01/2003 1:51:37 Revitalisasi Hukum Adat Soeharto dan Habibie seperti Undang-Undang (UU) Kehutanan, UU Pertambangan, UU Perikanan, UU Transmigrasi dan UU Penataan Ruang, telah menjadi instrumen utama untuk mengambil-alih sumbersumber ekonomi yang dikuasai masyarakat adat dan kemudian pengusahaannya diserahkan secara kolusif dan nepotistik kepada perusahaan-perusahaan swasta yang dimiliki oleh segelintir elit politik dan kroni-kroninya. Berhembusnya angin "reformasi" yang berhasil menempatkan KH Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI sejak Oktober 1999 sampai hari ini juga tidak merubah kebijakan dan hukum dalam pengelolaan sumberdaya alam. Energi dan kekuasaan yang dipegang oleh para pemimpin lembaga penyelenggara negara yang dipilih secara demokratis, yang mestinya digunakan untuk mengganti total peraturan per- UU-an peninggalan Orde Baru, justru lebih sibuk mengurus dirinya sendiri dan saling menjatuhkan satu sama lain. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI yang memiliki fungsi legislasi yang kuat, tidak melakukan kewajibannya, khususnya yang berkaitan dengan legislasi dalam pengelolaan sumberdaya alam. Akibat politik sumberdaya alam yang sentralistik, bertumpu pada pemerintah, represif dan eksploitatif ini, telah menimbulkan konflik atas sumberdaya alam berdimensi kekerasan antara masyarakat adat dengan penyelenggaran negara dan pemilik modal yang melibatkan aparat pertahanan dan keamanan. Dari konflik vertikal seperti ini tercatat banyak pelanggaran hak azasi manusia dialami oleh penggiat dan pejuang penegakan hak-hak masyarakat adat. Setiap aksi protes dari yang paling damai sekali pun seperti mengirim surat protes ke pemerintah sampai aksi pendudukan lahan, pengambil-alihan "base camp" sampai penyanderaan alat-alat berat perusahaan yang mengeksploitasi sumberdaya alam dan merusak ekosistem yang menghidupi mereka selalu berujung pada tuduhan anti-pembangunan dan kriminalisasi. Sebagian besar masyarakat adat di Indonesia telah menjadi korban dari pembangunan yang sejatinya dimaksudkan untuk mensejahterakan rakyat. Dalam perkembangannya selama leboh dari 20 tahun terakhir, pembangunan mendapat kritik dan perlawanan dari hampir seluruh kelompok rakyat marjinal dan para pendukungnya. Kritik dan perlawanan inilah yang kemudian direspon oleh para elit politik dengan pendekatan yang dangkal dan parsial, yaitu dengan mengedepankan konsep pembangunan berkelanjutan, suatu upaya untuk "mendamaikan" konflik antara pertumbuhan ekonomi dengan konservasi alam. Pendekatan baru ini, yang juga meneruskan cara pandang bahwa alam (sebagai ekosistem) hanyalah barang ekonomi yang dinilai dengan uang (valuasi). Cara pandang ini sungguh ketinggalan jaman dibanding nilai-nilai dan pandangan holistik yang hidup di masyarakat adat, khususnya mereka yang relatif belum terhegemoni dengan materialisme. Bagi masyarakat adat asli ini, sangat jelas bahwa tanah dan sumberdaya alam lainnya bukan sekedar barang ekonomi, tetapi bersifat spiritual atau sakral. Lebih mengenaskan lagi, beberapa terakhir ini kita pun dipaksa menyaksikan semakin maraknya konflikkonflik horisontal (antar kelompok masyarakat) yang memakan korban ribuan orang yang -- secara langsung ataupun tidak langsung -- bersumber dari ketidak-adilan dan pemiskinan struktural yang dialami masyarakat adat. Kembali lagi, pada situasi yang seperti ini, kita menjadi lupa akar persoalan struktural yang "menyemai benih dan menumbuh-suburkan" konflik-konflik horisontal, termasuk ketidak-adilan dan pelanggaran hak azasi manusia yang terkandung dalam banyak kebijakan negara yang tertuang dalam berbagai peraturan perUndang-Undangan sektoral yang mengatur tentang sumberdaya alam. file:///F|/Data%20Kuliah/Tugas%20Makalah/makalah%20Adat.htm (2 of 11)24/01/2003 1:51:37 Revitalisasi Hukum Adat Kebijakan ekonomi, khususnya dalam alokasi dan pengelolaan sumberdaya alam, yang hanya memihak kepentingan modal ini nyata-nyata telah berdampak sangat luas terhadap kerusakan alam dan kehancuran ekologis. Korban pertama dan yang utama dari kehancuran ekologis ini adalah masyarakat adat yang hidup di dalam dan di sekitar hutan, di atas berbagai jenis mineral bahan tambang yang dikeruk dari perut bumi, atau yang berdiam di wilayah pesisir serta mencari penghidupan di laut. Kebijakan sektoral yang eksploitatif -- "kuras cepat sebanyak-banyaknya, jual murah secepat-cepatnya" -- tidak memberi kesempatan bagi kearifan adat untuk mengelola sumberdaya alam secara berkelanjutan, sebagaimana yang telah dipraktekkan selama ratusan atau bahkan ribuan tahun. Pengetahuan dan kearifan lokal dalam mengelola alamnya tidak mendapat tempat yang layak dalam usaha produksi "modern", atau bahkan dalam kurikulum pendidikan formal sekalipun. Dunia farmakologi tidak mencoba mengangkat kearifan masyarakat adat di bidang tumbuhan obat sebagai bagian utama bidang perhatiannya. Ramuan tradisional, jamu dan sejenisnya dianggap sekunder atau malah diremehkan. Padahal telah terbukti ketika sistem pengobatan modern gagal memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan, jamu dan teknik-teknik pengobatan tradisional lainnya lalu menjadi alternatif yang dapat diandalkan. Demikian juga dengan sistem keamanan pangan tradisional yang berbasis pada keanekaragaman hayati wilayah adat dilemahkan, atau bahkan dibeberapa daerah dihilangkan, dengan memaksakan politik swasembada beras yang dikendalikan secara sentralistik. Selain mengambil alih secara langsung sumberdaya ekonomi primer berupa tanah dan sumberdaya alam di dalamnya, pemerintah melalui berbagai kebijakan perdagangan hasil bumi secara sistematis mengendalikan kegiatan ekonomi masyarakat adat. Pemberian monopoli kepada asosiasi atau perusahaan tertentu dalam perdagangan komoditas yang diproduksi masyarakat adat, seperti rotan dan sarang burung walet, telah menempatkan pemerintah sebagai "pelayan" bagi para pemilik modal untuk merampas pendapatan yang sudah semestinya diperoleh masyarakat adat. Di bidang politik, bila dibandingkan dengan kelompok-kelompok masyarakat lainnya sebagai unsur pembentuk Bangsa Indonesia, masyarakat adat menghadapi situasi yang lebih sulit lagi. Kondisi ini bermuara pada politik penghancuran sistem pemerintahan adat yang dilakukan secara sistematis dan terus menerus sepanjang pemerintahan rejim Orde Baru. Upaya penghancuran ini secara gamblang bisa dilihat dari pemaksaan konsep desa yang seragam di seluruh Indonesia sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Sistem desa, dengan segala perangkatnya seperti LKMD dan RK/RT, secara "konstitusional" menusuk "jantung" (alat vital pengatur kehidupan bersama komunitas) masyarakat adat, yaitu berupa penghancuran atas sistem hukum dan pemerintahan adat. Akibatnya kemampuan (enerji dan modal sosial) masyarakat adat untuk mengurus dan mengatur dirinya sendiri secara mandiri menjadi punah. Mekanisme pengambilan keputusan yang ada di antara institusiinstitusi adat digusur secara paksa sehingga yang tersisa ditangan para pengurus dan pemimpin adat hanya peran dalam upacara seremonial semata-mata. Bahkan peran pinggiran ini, di hampir seluruh pelosok nusantara, masih harus di atur, dan dikendalikan oleh Bupati dan Camat melalui penerbitan Surat Keputusan (SK) untuk para pemangku adat yang "pro" atau "disetujui" keberadaannya oleh pemerintah daerah. Kehancuran sistem-sistem adat ini menjadi lebih diperparah lagi dengan kebijakan militerisasi kehidupan pedesaan lewat konsep pembinaan teritorial TNI dengan masuknya Bintara Pembina Desa (BABINSA) sebagai salah satu unsur kepemimpinan desa. Politik massa mengambang Rejim Orde Baru -- sebagai salah satu instumen depolitisasi masyarakat adat – juga berdampak langsung file:///F|/Data%20Kuliah/Tugas%20Makalah/makalah%20Adat.htm (3 of 11)24/01/2003 1:51:37 Revitalisasi Hukum Adat pada melemahnya partisipasi politik masyarakat adat dalam proses-proses pembuatan kebijakan alokasi dan pengelolaan sumberdaya alam. Dengan kebijakan negara di bidang politik yang demikian maka pengurus dan pemimpin masyarakat adat, baik secara tersembunyi maupun secara terbuka, terusmenerus mengalami konflik yang berkepanjangan dengan pemerintah desa (Kepala Desa dengan segala perangkatnya), yang nyata-nyata orang-orangnya juga berasal dari masyarakat adat sendiri. Di sini menjadi sangat nyata bahwa Rejim Orde Baru berhasil merubah dan memintahkan konflik yang tadinya bersifat struktural-vertikal – yaitu konflik antara komunitas masyarakat adat dengan negara -- menjadi kultural-horizontal – yaitu konflik antara kelompok masyarakat adat yang patuh pada sistem yang diwariskan oleh leluhurnya dengan kelompok masyarakat adat yang menempatkan dirinya sebagai alat (kaki-tangan) negara. Kalau kita mencermati secara keseluruhan kebijakan negara di masa Rejim Orde Baru maka dengan sangat gamblang terlihat bahwa negara telah melakukan pelanggaran hak-hak sipil dan politik masyarakat adat selama lebih dari 20 tahun, termasuk hak asal-usul dan hak-hak tradisional yang dilindungi oleh UUD 1945, khususnya pasal 18 dan pasal 28, maupun yang telah diatur dalam instrumen internasional.3 "Reformasi" dan Otonomi Daerah: Membuka Luka Menuju Penyembuhan Di tengah pemberlanjutan 'ideologi' pembangunan ekspolitatif yang diwariskan dari rejim Orde Baru Soeharto-Habibie kepada KH. Abdurahman Wahid dan kemudian ke Megawati Sukarnoputri, reorganisasi Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui otonomi daerah telah menjadi tema sentral diskusi hampir di seluruh lapisan masyarakat, termasuk masyarakat adat. Dalam otonomi daerah ini, yang secara formal ditandai dengan keluarnya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999, ada kehendak dari para pembuatnya untuk memperbaharui hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah melalui penyerahan kewenangan pusat ke daerah atau desentralisasi, antara eksekutif (PEMDA) dengan legislatif (DPRD) melalui "kemitraan sejajar" di antara keduanya, dan terakhir mendekatkan secara politik dan geografis antara penentu kebijakan (yang kewenangannya diserahkan ke DPRD dan PEMDA Kabupaten) dengan rakyat sehingga diharapkan kebijakan yang dihasilkan akan lebih sesuai dengan hajat hidup rakyat banyak. Dalam konteks memberi jalan bagi kedaulatan masyarakat adat, hal-hal yang dikehendaki tersebut perlu dikaji dan dipertanyakan secara kritis mengingat bahwa UU 22/1999 dan UU 25/1999 ini hanya mengatur sistem pemerintahan (government system), bukan system pengurusan (governance system). Ini berarti bahwa kedua UU ini baru mengatur hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, belum menyentuh pada persoalan mendasar tentang hubungan rakyat dengan pemerintah yang selama Orde Baru justru merupakan akar dari segala persoalan yang dihadapi masyarakat adat, yaitu tidak adanya kejelasan dan ketegasan batas sampai di mana pemerintah boleh (punya hak) mengatur dan mengintervensi kedaulatan masyarakat adat. Yang muncul sebagai akibat dari ketidak-tegasan dan ketidak-jelasan ini adalah tumbuh-suburnya perilaku politik pengurasan di kalangan elit politik, khususnya para bupati yang mendapatkan penambahan wewenang yang cukup besar. Para bupati berlomba-lomba mengeluarkan PERDA untuk menarik pendapatan asli daerah (PAD) sebanyak-banyaknya dari berbagai macam sumber seperti bermacam pungutan, retribusi, pemberian ijin HPHH skala kecil, IPK dan file:///F|/Data%20Kuliah/Tugas%20Makalah/makalah%20Adat.htm (4 of 11)24/01/2003 1:51:37 Revitalisasi Hukum Adat sebagainya. Akibatnya beban pengeluaran rakyat ke pemerintah semakin meningkat, yang nampaknya juga tidak diimbangi dengan meningkatnya kualitas pelayanan birokrasi kepada rakyat yang telah membayar pajak dan non-pajak lebih besar. Hal menarik yang penting dicatat dari perjalanan otonomi daerah selama dua tahun terakhir ini adalah bahwa bertambahnya kekuasaan/wewenang di tangan para Bupati dan DPRD bukan berarti dengan sendirinya mengurangi kekuasaan/wewenang pemerintah pusat di daerah atas sumberdaya alam. Pada kenyataannya peraturan per-UU-an sektoral masih tetap kokoh dan berjalan seperti biasanya. Misalnya pencabutan ijin HPH, HPHTI, perkebunan besar, kuasa pertambangan masih tetap berada di tangan departemen sektoral. Dari sini bisa dipastikan otonomi daerah telah menyebabkan penambahan jumlah dan jenis kegiatan eksploitasi sumberdaya alam, baik yang sifatnya "resmi" (mendapatkan ijin dari pemerintah pusat dan daerah) maupun yang sifatnya "tidak resmi" (tidak pakai ijin dari pemerintah pusat atau daerah). Bisa dipastikan bahwa penambahan kegiatan ekploitasi ini yang sama sekali di luar kapasitas pemerintah untuk mengontrol. Di sisi lain, "reformasi" yang ditandai dengan mulai tumbuhnya kesadaran politik rakyat disertai dengan melemahkanya institusi negara juga telah mendorong dinamika politik lokal yang memberi ruang partisipasi politik bagi masyarakat adat, baik melalui mekanisme politik yang formal maupun yang informal. Dinamika ini tentu berdampak pada konflik itu sendiri. Berbagai konflik sumberdaya alam yang tadinya bersifat laten (tersembunyi) menjadi terbuka (berakar dan nyata) dan menjadi keharusan untuk mengatasi penyebab dan dampaknya. Adalah suatu kenyataan bahwa ternyata konflik-konflik terbuka ini tidak mampu diselesaikan oleh tatanan hukum dan kelembagaan negara yang ada saat ini (masih warisan dari Rejim Orde Baru) dan oleh karena itu maka penyelasaian konflik ini sudah seharusnya menjadi agenda utama dalam penataan hukum dan kelembagaan negara. Keberagaman & Kearifan Adat: Solusi bagi Penyelesaian Konflik dan Keberlanjutan Kehidupan Di tengah-tengah cerita penghancuran sumberdaya alam yang demikian dahsyat selama hampir 30 tahun rejim Orde Baru, data dan bukti-bukti lapangan yang dikumpulkan oleh para peneliti dan penggiat ORNOP dari berbagai pelosok nusantara telah membuktikan bahwa wilayah adat yang pengelolaan sumberdaya alamnya dikendalikan dan diurus secara otonom oleh komunitas-komunitas adat dengan menggunakan pranata adatnya ternyata mampu menjaga kelestarian multi-fungsi hutan. Realitas demikian merupakan pertanda optimisme bahwa masa depan keberlanjutan sumberdaya alam di Indonesia berada di tangan masyarakat adat yang berdaulat memelihara kearifan adat dan praktek-praktek pengelolaan sumberdaya alamnya. Sebagian dari masyarakat adat terbukti mampu menyangga kehidupan dan keselamatan mereka sendiri sebagai komunitas dan sekaligus menyangga layanan sosio-ekologis alam untuk kebutuhan seluruh mahluk, termasuk masyarakat lain di sekitarnya. Sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain sesuai kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem setempat. Penelitian yang pernah dilakukan Nababan (1995) di 4 propinsi (Kalimantan Timur, Maluku, Irian Jaya dan Nusan Tenggara Timur) menunjukkan bahwa walaupun sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama file:///F|/Data%20Kuliah/Tugas%20Makalah/makalah%20Adat.htm (5 of 11)24/01/2003 1:51:37 Revitalisasi Hukum Adat lain namun secara umum bisa terlihat beberapa prinsip-prinsip kearifan tradisional yang dihormati dan dipraktekkan oleh kelompok-kelompok masyarakat adat, yaitu antara lain: 1) masih hidup selaras dengan mentaati mekanisme alam dimana manusia merupakan bagian dari alam itu sendiri yang harus dijaga keseimbangannya; 2) bahwa suatu kawasan hutan tertentu masih bersifat eksklusif sebagai hak penguasaan dan/atau kepemilikan bersama komunitas (comunal property resources) yang dikenal sebagai wilayah adat sehingga mengikat semua warga untuk menjaga dan mengamankannya dari pihak luar; 3) sistem pengetahuan dan struktur pemerintahan adat memberikan kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi, termauk berbagai jenis konflik, dalam pemanfaatan sumberdaya hutan; 4) sistem alokasi dan penegakan hukum adat untuk mengamankan sumberdaya milik bersama dari penggunaan berlebihan, baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh orang luar komunitas; 5) mekanisme pemerataan distribusi hasil "panen" sumberdaya alam milik bersama yang bisa meredam kecemburuan sosial di tengah masyarakat. Prinsip-prinsip ini berkembang secara evolusioner sebagai akumulasi dari temuan-temuan pengalaman masyarakat selama ratusan tahun. Karenanya, prinsip-prinsip ini pun bersifat multi-dimensional dan terintegrasi dalam sistem religi, struktur sosial, hukum dan pranata atau institusi masyarakat adat yang bersangkutan. Kalau komunitas-komunitas masyarakat adat ini bisa membuktikan diri mampu bertahan hidup dengan sistem-sistem lokal yang ada, apakah tidak mungkin bahwa potensi sosial-budaya yang besar ini dikembalikan vitalitasnya dalam pengelolaan dan penyelesaian konflik sumberdaya alam dan sekaligus untuk menghentikan pengrusakan terhadap masyarakat adat di seluruh pelosok nusantara beserta habitatnya. Kearifan adat yang berbasis komunitas ini merupakan potensi sosial-budaya untuk direvitalisasi, diperkaya, diperkuat dan dikembangkan sebagai landasan baru menuju perubahan kebijakan yang tepat untuk tujuan keberlanjutan ekologis. Dengan pranata sosial yang bersahabat dengan alam, masyarakat adat diyakini memiliki kemampuan yang memadai untuk melakukan rehabilitasi dan memulihkan kerusakan ekologis di areal-areal bekas konsesi HPH dan lahan-lahan hutan kritis (community-based reforestation and rehabilitation) dengan pohon-pohon jenis asli yang bermanfaat subsisten dan komersial. Dengan pengayaan (enrichment) terhadap pranata adat untuk pencapaian tujuan-tujuan ekonomis, komunitas masyarakat adat diyakini mampu (a) mengelola usaha ekonomi komersial berbasis sumberdaya alam local yang ada di wilayah adatnya (mis. community logging, community forestry, dsb.), (b) mengatur dan mengendalikan "illegal logging" yang dimodali oleh cukongcukong kayu, (c) mengurangi praktek-praktek "clear cutting" legal (dengan IPK) untuk tujuan konversi hutan, dan mencegah penebangan hutan resmi yang merusak dan tidak berkeadilan seperti IHPHH. Tidak berlebihan untuk menyatakan bahwa masa depan keberlanjutan kehidupan kita sebagai bangsa berada di tangan masyarakat adat yang berdaulat memelihara kearifan adat dan praktek-praktek pengelolaan sumberdaya alam yang sudah terbukti mampu menyangga kehidupan dan keselamatan mereka sebagai komunitas dan sekaligus menyangga layanan alam untuk kebutuhan mahluk lainnya secara lebih luas. Kedaulatan Masyarakat Adat dan Pengelolaan Konflik Sumberdaya Alam: Membangun Agenda Bersama file:///F|/Data%20Kuliah/Tugas%20Makalah/makalah%20Adat.htm (6 of 11)24/01/2003 1:51:37 Revitalisasi Hukum Adat Berdasarkan uraian di atas maka tantangan utama kita di masa depan adalah: (1) Bagaimana mengembalikan kedaulatan masyarakat adat atas pengelolaan sumberdaya alam; dan (2) Bagaimana tata kelola konflik yang bisa menjamin akses dan kontrol masyarakat atas sumber daya alam di wilayah adatnya? Dalam kaitan penyelsaian konflik sumberdaya alam yang dihadapi masyarakat adat selama ini maka penataan ulang atas sistem hukum dan kelembagaan negara, salah satunya melalui pembuatan UU PSDA, harus ditujukan untuk: 1. Membangun landasan untuk menyelesaikan berbagai konflik sumberdaya alam di masa lalu dan dampak-dampaknya yang muncul sebagai akibat dari kesalahan kebijakan negara di masa lalu. Salah satu dari kesalahan mendasar dari kebijakan tersebut adalah: penyatuan antara "status penguasaan kawasan dan SDA di dalamnya" dengan "fungsi kawasan dan pemanfaatan SDA yang ada di dalamnya", yang dalam pelaksanaannya telah mengkategorikan hutan adat menjadi hutan negara. Hutan adat yang memiliki fungsi produksi diambil menjadi hutan produksi negara yang kemudian dikonsesikan kepada perusahaanperusahaan penebangan hutan (HPH), kebun pohon (HTI). Setelah hutannya habis, kemudian tanah adat tersebut dialihkan kepada perusahaan-perusahaan perkebunan sebagai Hak Guna Usaha (HGU). Hutan adat yang memiliki fungsi konservasi keanekaragaman hayati diambil menjadi hutan konservasi yang kemudian dikelola oleh Departemen Kehutanan dalam bentuk Balai Taman Nasional. Hutan adat yang memiliki fungsi perlindungan hidrologis diambil menjadi hutan lindung yang dikelola sendiri oleh Dinas Kehutanan. Akibat dari kesalahan di masa lalu ini maka saat ini banyak masyarakat adat yang akhirnya menjadi "orang asing di kampung sendiri". Ketimpangan struktur agraria menjadi suatu realitas sosial masyarakat adat di banyak daerah sebagai akibat terjadinya konsentrasi penguasaan dan pengusahaan tanah dan SDA lainnya di tangan segelintir pengusaha besar dan elit birokrasi di kota-kota besar. Untuk daerah-daerah seperti ini maka sudah menjadi keharusan untuk segera melakukan operasi penataan kembali struktur agraria melalui reforma agraria yang menyeluruh. 2. Membangun landasan untuk merubah arah dan tujuan (orientasi) PSDA dari rejim PSDA yang berbasis pemerintah (negara) dan pemenuhan kebutuhan pasar global ke rejim PSDA yang berbasis pada komunitas dan pemenuhan kebutuhan lokal. Orientasi baru ini memiliki tujuan-tujuan, antara lain: (a) keberlanjutan kehidupan dan keselamatan masyarakat adat di dalam wilayah kelola adatnya; (b) keberlanjutan layanan sosialekologi alam pada skala ekosistem yang lebih luas, dan (c) peningkatan produktifitas penduduk kampung. Orientasi baru ini akan lebih mampu menghindarkan kesalahan-kesalahan PSDA Orde Baru yang menggusur hak-hak masyarakat masyarakat adat dan kemudian kontrol atas SDA terakumulasi ditangan segelintir pengusaha "kroni". Dengan orientasi PSDA lama (ORBA) maka diasumsikan bahwa hanya para pengusaha yang punya modal inilah pelaku ekonomi yang mampu merealisasikan tujuan-tujuan makro seperti mendatangkan devisa yang banyak secara cepat, di samping tentu untuk kemudahan penarikan pajak dan administrasi pembangunan. Beberapa studi telah memperlihatkan bahwa asumsi ini tidak sepenuhnya benar. Sistem devisa bebas tidak memungkinkan pemerintah melakukan kontrol atas penggunaan devisa sehingga pendapatan dari file:///F|/Data%20Kuliah/Tugas%20Makalah/makalah%20Adat.htm (7 of 11)24/01/2003 1:51:37 Revitalisasi Hukum Adat hutan justru diinvestasikan di luar sektor kehutanan. Kemudahan penarikan pajak pun justru dimanfaatkan untuk menarik "pajak-pajak tidak resmi dan tidak jelas penggunaannya" lewat praktek-praktek KKN antara birokrasi dan pengusaha yang akhirnya hannya memberikan "rente ekonomi" yang kecil untuk negara. Orientasi baru ini lebih mampu menyelesaikan ketidak-pastian hukum dan maraknya konflik berkaitan dengan hak penguasaan (alas hak, atau tenurial rights) atas tanah dan sumberdaya alam di dalamnya. 3. Membangun landasan untuk menjamin kepastian atas pengakuan, penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat atas sumberdaya alam di wilayah adatnya (penamaan wilayah adat ini berbeda-beda di berbagai daerah, misalnya: petuanan di Maluku, huta/bius di Batak, marga di Sumatera Selatan, Benua di Landak-Kalimantan Barat, Panglili Tondo' di Tana Toraja, dan sebainya). Dalam hal penentuan batas-batas wilayah adat ini, suatu komunitas masyarakat adat yang memiliki dasar historis (riwayat tanah/wilayah secara lisan dan/atau tertulis, saksi-saksi, persetujuan dengan komunitas masyarakat adat yang berbatasan/tetangga langsung) atas hak asal-usul (atau hak tradisional, atau hak ulayat, atau hak adat lainnya) memiliki hak untuk melakukan "self-claiming", yaitu tindakan menentukan sendiri batas-batas wilayah adat misalnya melalui "participatory community mapping". Kawasan-kawasan SDA yang bebas dari claim hak milik dari orang per orang atau hak adat dari masyarakat adat maka kawasan/tanah tersebut bisa masukkan sebagai kawasan/tanah publik yang pengelolaannya berada di tangan pemerintah. Kawasan/tanah PUBLIK ini harus dilepaskan oleh pemerintah kepada yang berhak apabila dalam perkembangannya ada orang/pribadi tertentu, sekelompok orang (kolektif) atau kelompok masyarakat adat tertentu yang bisa menunjukkan "bukti" kepemilikan pribadi (untuk kasus orang per orang) dan "penguasaan/kepemilikan" adat (untuk masyarakat adat). Dengan demikian maka menurut status alas hak (hak penguasaan, tenurial rights) atas kawasan SDA bisa dibagi dalam 4 macam, yaitu: (a) hak milik pribadi; (b) hak milik kolektif; (c) hak komunal adat; (4) hak publik pengelolaannya di tangan pemerintah. Berkaitan dengan ini menjadi penting bagi masyarakat adat sendiri untuk menjawab pertanyaanpertanyaan berikut ini: a. "Apa saja hak-hak masyarakat adat atas sumberdaya alam yang harus diakui, dihormati dan dilindungi oleh negara?" b. "Apa saja bentuk-bentuk pengakuan, penghormatan dan perlindungan dari negara atas hakhak masyarakat adat atas sumberdaya alam tersebut?" c. "Apa saja yang harus di atur dan bagaimana pengaturannya agar masyarakat adat sungguhsungguh berdaulat (indigenous autonomy) dalam pengelolaan sumber daya alam yang ada di wilayah adatnya secara berkelanjutan?"; d. "Bagaimana seharusnya masyarakat adat membangun hubungan/interaksi dan kerjasama yang adil serta demokratis dengan pemerintah dan pihak-pihak luar berkepentingan lainnya?" e. "Siapa saja yang sah dan memiliki wewenang sebagai wakil masyarakat adat untuk berunding dengan pemerintah dan pihak-pihak luar berkepentingan lainnya, baik dalam urusan penguasaan maupun pengelolaan sumberdaya alam yang ada di wilayah adat?". file:///F|/Data%20Kuliah/Tugas%20Makalah/makalah%20Adat.htm (8 of 11)24/01/2003 1:51:37 Revitalisasi Hukum Adat 4. Membangun landasan kesepakatan baru antara masyarakat adat dan negara atas fungsi kawasan SDA. Kedaulatan atas hak-hak masyarakat adat juga dibatasi oleh kewajibankewajiban masyarakat adat untuk memelihara warisan leluhurnya sebagai sesuatu yang sakral dan hal-hal ini umumnya sudah diatur di dalam hukum adat di masing-masing komunitas adat. Namun demikian adalah suatu keniscayaan bahwa negara memiliki otoritas untuk menjaga keberlangsungan layanan alam dan pelestarian plasma nutfah. Dalam hal ini peran pemerintah menjadi penting sesuai dengan fungsinya sebagai PENGATUR dan PENGENDALI kegiatan pengelolaan/pemanfaatan SDA agar tidak berdampak negatif luas secara ekologis yang bisa merugikan kepentingan publik. Untuk menjaga layanan sosial-ekologis maka kawasan SDA yang sudah dibebani salah satu dari 4 jenis alas hak (tenurial right) bisa juga dibebani fungsi tertentu sesuai kondisi ekologis dan peruntukannya. Misalnya bila di suatu wilayah adat yang "dikuasai" masyarakat adat terhadap kawasan yang membutuhkan pengelolaan khusus (misalnya untuk kawasan konservasi keanekaragaman, atau untuk tujuan perlindungan DAS) maka masyarakat adat (diwakili oleh wakil yang sah menurut hukum adatnya) bisa saja menyerahkan sebagian dari hak pengelolaannya kepada pemerintah (Menteri sebagai wakil pemerintah pusat) dengan perjanjian yang jelas bahwa pemerintah tidak boleh melakukan perubahan fungsi kawasan tanpa persetujuan dari masyarakat adat pemilik/penguasa kawasan. Di sisi lain, pemerintah juga dimungkinkan untuk mendapatkan wewenang dari masyarakat adat untuk melakukan pemantauan atau pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban-kewajiban masyarakat adat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Pengakuan terhadap penguasaan kawasan adat jelas akan memiliki implikasi pada mekanisme dan prosedur penentuan masyarakat lokal untuk "diakui" sebagai masyarakat adat, termasuk didalamnya untuk menentukan batas-batas wilayah adat masyarakat yang bersangkutan. Yang perlu diwaspadai adalah agar proses penentuan masyarakat adat dan batas-batas wilayah/kawasan adat tidak berada di tangan pemerintah atau pihak luar lainnya (top-down), tetap ditentukan sendiri oleh masyarakat adat yang bersangkutan (self-identification dan self-claiming) secara partisipatif dan prosesnya harus dimulai dari tingkat kampung atau satuan sosial terendah. 5. Membangun landasan demokrasi partisipatif dalam penentuan kebijakan alokasi dan pengelolaan sumberdaya alam. Kebijakan negara yang selama ini menjadi penyebab utama konflik adalah hasil dari proses politik yang berlangsung dalam berbagai arena, baik di tingkat local dan nasional maupun internasional. Dengan demikian, tidak mungkin ada kebijakan negara yang adil bagi masyarakat adat kalau masyarakat adat sendiri tidak secara aktif terlibat dalam proses-proses politik yang menentukan kebijakan negara tersebut. Keterlibatan masyarakat adat ini juga hanya bisa terjadi kalau mereka sendiri mengorganisir dirinya sebagai kekuatan politik yang pantas diperhitungkan. Dalam konteks ini maka membangun kapasitas masyarakat adat yang berdaulat (mandiri) harus diimbangi dengan jaringan kesaling-tergantungan (interdependency) antar komunitas dan antar para pihak. Untuk bisa mengelola dinamika politik di antar para pihak yang berbeda kepentingan seperti ini dibutuhkan tatanan organisasi birokrasi dan politik yang partisipatif (participatory democracy). Kondisi seperti ini bisa diciptakan dengan 2 pendekatan. Cara pertama adalah pendekatan formal, yaitu melalui PEMILU yang memilih langsung orang file:///F|/Data%20Kuliah/Tugas%20Makalah/makalah%20Adat.htm (9 of 11)24/01/2003 1:51:37 Revitalisasi Hukum Adat untuk jabatan politik (legislatif dan eksekutif) di mana rakyat pemilih punya kontrol dan akses terhadap proses dan substansi perubahan kebijakan melalui wakil rakyat/pejabat publik yang dipilihnya. Cara kedua adalah pendekatan informal, misalnya dengan membentuk "Dewan Konsultasi Multi-Pihak tentang Kebijakan Sumber Daya Alam Wilayah/Daerah" atau "Forum Multi-Pihak Penataan Ruang Wilayah/Daerah" yang berada di luar struktur pemerintahan tetapi secara politis dan hukum memiliki posisi cukup kuat untuk melakukan intervensi kebijakan. Untuk wilayah/kabupaten yang populasi masyarakat adatnya cukup banyak, maka wakil masyarakat adat dalam lembaga seperti ini harus ada. Untuk daerah-daerah dengan struktur agraria yang timpang (banyak masalah ketidak-adilan agraria) maka menjadi penting untuk segera membentuk Komite Bersama Pelaksana Pembaruan Agraria (atau bisa juga dengan tetap menambahkan Pengelolaan Sumberdaya Alam) yang keanggotaannya merupakan utusan dari beragam konstituen (constituent-based committee) yang terorganisir, yang antara lain bekerja untuk: (a) menata ulang penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dan SDA lainnya di daerah tersebut; (b) membangun mekanisme penyelesaian konflik tanah dan SDA lainnya di daerah tersebut. Footnotes 1. Makalah untuk disajikan dalam Konsultasi Publik Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Sumber Daya Alam". Palu, 5 Maret 2003. 2. Sekretaris Pelaksana Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). 3. Perjuangan masyarakat adat menegakkan hak-haknya memiliki landasan konstitusional dan dasar hukum yang sangat kuat, khususnya setelah adanya Amandemen kedua Undang Undang Dasar (UUD) 1945. Pasal 18B ayat (2) (amandemen) UUD 1945 pada bab VI yang mengatur tentang pemerintahan daerah telah menegaskan bahwa: "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsipprinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang". Bab X A yang mengatur tentang Hak Azasi Manusia pada pasal 28-I Ayat (3) semakin memperkuat kedudukan masyarakat adat dengan mengatakan bahwa: "identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban" merupakan hak azasi manusia yang harus dilindungi oleh Negara. Dengan penegasan pasal ini menjadi sangat jelas bahwa apabila satu komunitas masyarakat adat menyatakan dirinya masih hidup (self-identification and self-claiming) maka Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib melindunginya. Di samping dilindungi konstitusi negara, hak-hak masyarakat adat dan upayaupaya penegakannya juga diatur dalam beberapa instrumen internasional. Yang pertama adalah Konvensi ILO (International Labor Organisation) Nomor 169 tahun 1989 mengenai Masyarakat Adat dan Penduduk Pribumi Asli di Negera-Negara Merdeka. Konvensi ini sangat penting bagi kelompok-kelompok masyarakat adat di Indonesia untuk mendukung tindakan perlawanan terhadap ketidak-adilan dalam Negara Republik Indonesia yang merdeka. Konvensi ini dengan tegas memberi perlindungan terhadap hak-hak sosial, budaya, politik dan ekonomi masyarakat file:///F|/Data%20Kuliah/Tugas%20Makalah/makalah%20Adat.htm (10 of 11)24/01/2003 1:51:37 Revitalisasi Hukum Adat adat. Hanya saja konvensi ini belum diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia sehingga belum menjadi produk hukum yang sah dan harus ditegakkan (mengikat secara resmi). Instrumen kedua adalah Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity) (1992) yang sudah diratifikasi (disahkan) oleh Pemerintah Indonesia menjadi UU No. 5 Tahun 1994, khususnya pasal 8 (j) yang menekankan pada perlindungan terhadap kearifan adat dalam pelestarian sumber daya dan keaneka-ragaman hayati dan hak kepemilikan intelektual masyarakat adat. Masih banyak lagi instrumen internasional (walaupun tidak secara khusus untuk masyarakat adat) yang bisa memberi "ruang hidup" bagi masyarakat adat, misalnya Perjanjian Internasional Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (1966), Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (1966), dan sebagainya. Yang paling penting dari semua itu bahwa saat ini PBB sedang merumuskan (masih draft) Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (Declaration on The Rights of Indigenous Peoples). AMAN sebagai organisasi masyarakat adat di Indonesia terus berjuang agar deklarasi ini segera disepakati dan diputuskan oleh Sidang Umum PBB sebagai salah satu instrumen hukum dalam pergaulan antar negara di tingkat internasional. file:///F|/Data%20Kuliah/Tugas%20Makalah/makalah%20Adat.htm (11 of 11)24/01/2003 1:51:37