Senin, 07 Mei 2012

Pemimpin Ideal, Antara Harapan dan Realita

Pemimpin Ideal, Antara Harapan dan Realita
Oleh: Ali Mahmudi CH *)

Pasca carut-marut birokrasi pemerintahan UIN, khususnya dalam internal Fakultas Syariah dan Hukum, Mahasiswa dikagetkan dengan munculnya figur pemimipin baru, bak jamur dimusim hujan. Pasalnya, setelah mundurnya beberapa pemimpin jurusan study (Kajur-red), perbedaan gambaran prospek jurusan Ilmu Hukum kedepan juga semakin kabur. Mungkin inilah kado terindah yang diberikan pada Harlah Ilmu Hukum yang ke-3 oleh birokrasi Kampus pada tahun belakangan ini.
Sebagai manusia awam birokrasi, dalam benak kita tentu timbul banyak pertanyaan. Bagaimana semua itu bisa terjadi? Apa faktor penyebabnya? Bagaimana dengan nasib Mahasiswa? Serta seabreg pertanyaan lain yang masih mengganjal pikiran kita. Inilah fakta, bukan isu angin malam belaka.
Max Weber, dalam teorinya mengemukakan, bahwa birokrasi merupakan sebuah hierarki yang disetiap jenjangnya dilengkapi dengan kewenangan atau otoritas jabatan. Secara sekilas ini menarik. Tetapi, pola seperti ini bisa keliru ketika top management birokrasi diberikan sepenuhnya kepada pejabat politik. Sebab, pejabat politik sendiri memerlukan dukungan politik. Sehingga, untuk memaksimalkan dukungan tersebut, organisasi birokrasi menjadi lahan empuk untuk menggalang dukungan.
Maka, terjadilah kebiasaan mutasi dan promosi jabatan besar-besaran secara massal hampir menjurus seluruh daerah otonom. Pada masa Orba, penentuan karier pejabat birokrasi diatur secara kelembagaan dari pusat. Faktanya, sebagai penganut model party state bureaucratic, maka penentuan jabatan birokrasi masih harus di bawah organisasi partai. Disinilah birokrasi menjadi unsur penting dalam organisasi partai.
Agama Islam memandang penting terhadap sebuah kepemimpinan (ro’iyyah). Oleh karena itu, Islam memberi perhatian khusus terhadap kepemimipinan birokrasi. Sebab, hakikatnya kita semua merupakan pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan itu. Dalam islam, kriteria pemimipin ideal telah dicontohkan oleh baginda Rasulillah Muhammad Saw, yakni: Pertama, Amanah (terpercaya). Seorang pemimpin harus mendapat kepercayaan publik. Karena, sebuah masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera akan terbentuk manakala pemimpinnya mendapat kepercayaan (legitimasi) dari public.
Kedua, Fathonah (cerdas). Persyaratan mutlak menjadi pemimpin ideal adalah memiliki kemampuan inteligen (IQ) yang standar, sehingga mampu menganalisa dan mengatasi problematika yang telah terjadi dilingkungannya. Ketiga, Tabligh (komunikatif). Pemimpin harus mampu berkomunikasi dengan masyarakat dan pimpinan di atasnya. Sehingga akses informasi bisa diterima oleh semua kalangan.
Keempat, Shidiq (jujur). Kejujuran merupakan pondasi utama yang menyokong kepemimipinan seseorang. Kejujuran seorang pemimpin merupakan bagian dari kesuksesan dalam kepemimpinannya. Dengan kejujuran, seseorang bisa menilai mana diantara pemimpin yang bermodalkan kejujuran tinggi dan mana yang tidak. Kejujuran saat ini merupakan sesuatu yang langka dan sulit untuk dibuktikan secara nyata.
Fatwa dari Prof. Dr. Miftah Thoha, MPA, mengatakan bahwa di era otonomi daerah memunculkan “raja-raja kecil”. Yakni, dengan menempatkan pejabat politik sebagai pemimpin tertinggi birokrasi. Segala sesuatu yang terjadi di Indonesia ini hanyalah terjadi di Negara-negara yang tidak demokratis dan komunis yang bermadzhab Marxisme. Disini terungkap bahwa birokrasi merupakan bagian dari kelompok yang berkuasa.
Secara umum, capaian demokrasi yang diraih rakyat Indonesia pascareformasi sedikit menggembirakan. Terbukti dengan adanya kebebasan berpendapat, kebebasan pers, serta berbagai upaya transparansi tata kelola pemerintahan. Kondisi ini akan semakin baik apabila ditunjang dengan reformasi birokrasi. Tentunya harus dilaksanakan secara professional dan proporsional.
Dengan pembatasan rekrutmen, serta menempatkan birokrasi dalam karier pemerintahan, maka penyimpangan oleh pejabat eksekutif politik maupun legislative tidak dapat menjangkau kinerja birokrasi. Kondisi seperti ini menjadikan birokrat tidak tertekan bila berhadapan dengan pemimpinnya yang berasal dari jalur politik.
Sebab, selain terprioritaskan pada aspek profesionalitas, juga terdapat Undang-undang yang melindungi pejabat birokrasi dalam menjalankan kariernya. Akhir-akhir ini, pengawasan terhadap manajemen birokrasi semakin kabur. Untuk itu, dalam rangka mengikis budaya paternalistik, harus segera mungkin memprioritaskan profesionalisme dengan pendekatan meritokrasi birokrasi.
Profesionalisme dan meryt system tidak akan tercapai apabila semangat netralitas birokrasi tidak segera ditekankan dalam peraturan perundang-undangan. Sebab, tanpa netralitas birokrasi terhadap politik, maka akan sulit mencapai profesionalitas birokrasi sesuai tujuan bangsa yang menginginkan untuk menjadi Negara yang demokratis.
Mahasiswa merupakan sosok agen perubahan masa depan. Maka, fardlu ‘ain hukumnya kita belajar betapa pentingnya arti perubahan menuju masa depan yang gemilang. Mahasiswa bisa menjadi yang terbaik diantara yang baik, asalkan selalu belajar untuk menjadi yang terbaik. Tidak ada perubahan yang baik tanpa didasari adanya ikhtiar maksimal untuk menjadi pribadi yang beradab dan professional.

*Penulis: Pengamat dan Peneliti Hukum pada Central Studies of Politic and Islamic Law (CS-PIL), Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar