Rabu, 11 Februari 2015

Maulid dan Jihad Reformasi

Maulid dan Jihad Reformasi
Oleh: Ali Mahmudi Ch *)

Lantunan pujian shalawat mengalun merdu disetiap sudut-sudut perkampungan. Malam-malam Rabi’ul awal terlantun syair puji-pujian. Dunia bagaikan lautan shalawat bergelombang menggemuruh seluruh penjuru. Semarak shalawat menggema dimana-mana meramaikan persada. Rerumputan bergoyang-goyang diterpa angin shalawat atas Muhammad yang agung nan mulia. Seluruh makhluk dijagat raya menyaksikan ruh Muhammad diantara kerumunan orang-orang shaleh.
Inilah tradisi yang tiada henti. Turun-temurun dari masa ke masa selanjutnya. Mengintip sejarah, bahwa maulid pertama diperingati pada masa Sultan Salahuddin Yusuf al Ayyubi (1174-1193M). Ia berasal dari suku Kurdi dengan pusat kesultanannya berada di Qahirah, Mesir. Daerah kekuasaannya membentang dari Mesir sampai Suriah dan Semenanjung Arab. Pada masa itu, Islam sedang mengalami serangan bertubi-tubi dari bangsa Eropa. Perang ini kemudian dikenal dengan Perang Salib (The Crusade).
Tahun 1099, Eropa merebut Yerusalem. Kemudian mereka mengubah Masjid Al-Aqsha menjadi gereja. Saat itu umat sedang kritis semangat perjuangan dan persaudaraan. Sebab, secara politis mereka terbelah dalam banyak kerajaan dan kesultanan. Meski semestinya khalifah tetap dipegang oleh Bani Abbas di Bagdad. Berawal dari situasi inilah yang kemudian melahirkan jihad reformasi di tubuh Salahuddin al-Ayyubi.
Salahuddin al-Ayyubi berupaya mempertebal semangat kecintaan umat kepada Nabi Muhammad. Dia mengimbau bagi umat Islam di seluruh dunia agar memperingati hari lahir Nabi Muhammad. Ini bertujuan untuk meningkatkan semangat juang kaum reformis muslim. Peringatan maulid diperintahkan guna mengimbangi maraknya peringatan Natal umat Nasrani.
Awalnya, ide ini banyak ditentang oleh para ulama. Sebab, sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Tetapi disini Salahuddin menegaskan, bahwa perayaan maulid nabi merupakan kegiatan guna menyemarakkan syiar agama. Ini berarti bahwa maulid bukan merupakan perayaan bersifat ritual ibadah. Sehingga kegiatan ini tidak dapat dikategorikan sebagai bid’ah.
Salah satu kegiatan maulid nabi pertama kali, ialah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian baginya dengan bahasa seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang juara pertama diraih oleh Syaikh Ja’far Al-Barzanji. Karyanya sangat terkenal, yakni Kitab Barzanji. Al-Barzanji ini marak dibaca pada peringatan maulid nabi ataupun setiap malam jum’at. Tradisi ini dalam istilah Jawa dikenal dengan nama Berjanjenan.
Spirit Reformasi
Pasca runtuhnya Orde Baru, angin reformasi berhembus sangat kencang. Namun sayang, reformasi birokrasi tetap jalan ditempat. Dalam era reformasi ini, kondisi manajemen birokrasi semakin terpuruk. Ini ditandai dengan adanya penyerahan kewenangan manajemen kepegawaian kepada pembina kepegawaian daerah. Sementara pembina kepegawaian daerah merupakan orang-orang pejabat politik yang menghendaki dukungan politik.
Maka tak dapat dielakkan lagi kalau terjadi kultur mutasi dan promosi jabatan secara missal. Uniknya, bahkan hampir menjurus pada bagian daerah otonom. Baik di tingkat pemerintah daerah, provinsi, hingga kabupaten. Mutasi jabatan birokrasi dilakukan oleh pejabat politik yang hendak mengatur birokrasi. Ini bertujuan untuk memuluskan langkah guna mencapai jabatan kedua atau klien penggantinya.
Pada masa Orba, penentuan karier pejabat birokrasi diatur secara kelembagaan dari pusat. Faktanya, sebagai penganut party state bureaucratic, penentuan jabatan birokrasi masih harus di bawah organisasi partai. Disinilah birokrasi menjadi unsur penting dalam organisasi partai. Organisasi partai bisa mengalihfungsikan birokrasi menjadi ajang promosi partai dan jabatan. Sebab, pejabat birokrasi dikuasai oleh partai politik tertentu.
Untuk itu, kita perlu mendongakkan kepala untuk melihat sejarah. Disinilah pentingnya peringatan maulid bagi pemerintahan birokrasi. Spirit reformasi telah tumbuh di jantung peradaban maulid Nabi. Seperti telah digagas Shalahuddin al-Ayyubi, bahwa maulid dimaksudkan untuk menggugah semangat jihad reformasi pada saat itu. Meskipun maulid terkesan kultur keagamaan, namun ruhnya jauh memiliki makna yang luas.
Maka, sudah saatnya Indonesia mereformasi birokrasi secara total. Artinya, reformasi birokrasi tidak hanya dalam ranah parsial per departemen atau unit kerja saja. Namun harus direformasi secara total. Berdasarkan hasil survei dari The Political and Economics Risk Consultancy (PERC), 9 April 2009, bahwa Indonesia merupakan Negara dengan pelayanan publik terburuk setelah india. Selain menyandang prestasi itu, Indonesia juga mendapat skor predikat Negara terkorup se-Asia.
Secara umum, demokrasi yang diraih rakyat Indonesia pascareformasi memang sedikit menggembirakan. Ini terbukti dengan adanya kebebasan berpendapat, kebebasan pers, serta berbagai upaya transparansi tata kelola pemerintahan. Kondisi ini akan semakin baik apabila ditunjang dengan reformasi birokrasi. Tentunya upaya ini harus dilaksanakan secara professional dan proporsional.
Penyimpangan-penyimpangan yang kerap dilakukan oleh pejabat birokrasi kemungkinan bisa diminimalisir dengan adanya pembatasan dan kriteria rekrutmen yang jelas. Sekaligus disertai dengan menempatkan birokrasi dalam jabatan karier pemerintahan. Dengan ini diharapkan pejabat eksekutif maupun legislatif jauh dari jangkauan kinerja birokrasi. Maka, pejabat birokrasi tidak akan merasa tertekan bila berhadapan dengan pemimpinnya yang berasal dari jalur politik.
Sebab, selain terprioritaskan pada aspek profesionalitas, juga terdapat Undang-undang yang melindungi pejabat birokrasi dalam menjalankan kariernya. Akhir-akhir ini, pengawasan terhadap manajemen birokrasi semakin kabur. Untuk itu, dalam rangka mengikis budaya paternalistik, harus segera mungkin memprioritaskan profesionalisme dengan pendekatan meritokrasi birokrasi.
Pendekatan ini dalam rangka memaksimalkan fungsi dasar lembaga birokrasi. Profesionalisme dan meryt system tidak akan tercapai apabila semangat netralitas birokrasi tidak segera ditekankan dalam peraturan perundang-undangan. Sebab, tanpa netralitas birokrasi terhadap politik, maka akan sulit mencapai profesionalitas birokrasi sesuai tujuan bangsa yang demokratis.

*Penulis: Peneliti pada Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta (LKKY).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar